Bisnis.com, JAKARTA—Penyelenggaraan pemilihan umum terutama pemilihan presiden atau Pilpres 2019 menjadi perhatian media asing atas Indonesia.
Nikkei Asian Review dalam cover story-nya, Rabu (10/4/2019) menurunkan berita tentang “hilangnya” sentuhan kubu Jokowi atas para pemilih milenial.
Mengawali penulisan cover story dengan cuplikan laporan kampanye akbar Prabowo Subianto di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Nikkei menggambarkan bagaimana semangatnya Prabowo berkampanye disambut antusiasme pendukungnya yang menggemakan takbir.
“Prabowo-Sandi naik! Jokowi turun!” pekik mereka mengiringi kampanye akbar yang digelar pada akhir pekan, 7 April, 10 hari jelang pemungutan suara, tulis Nikkei.
Nikkei juga menggambarkan, pada hari yang sama beberapa jam usai keriuhan Prabowo dan simpatisannya di Senayan, Jokowi dan para pendukungnya menggelar rapat umum dan kampanye di Serpong untuk menjaring pemilih muda.
Nikkei menilai bahwa putaran terakhir kampanye jelang pemungutan suara tampaknya menjadi momentum bagi Prabowo untuk memangkas keunggulan Joko Widodo dalam sejumlah survei. “Hal ini terlihat dari simpati dari golongan yang sempat mendukung Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu, pemilih muda,” tulis Nikkei.
Generasi Muda Muslim
Nikkei menghadirkan analisis bahwa Prabowo berhasil mendulang keuntungan dari meningkatnya jumlah generasi muda Muslim Indonesia yang menjadi lebih religius, sebuah fenomena yang dikenal dengan istilah ‘hijrah’.
Frasa ini digunakan untuk mendeskripsikan umat Islam yang menjalani transformasi spiritual dengan meninggalkan hal-hal yang dinilai buruk pada masa lalu dan memegang nilai-nilai Islam sebagai landasan utama hidup.
Salah satu sosok yang telah berhijrah adalah Anna, perempuan kantoran berusia 27 tahun di Jakarta. Ia mengaku telah berhijrah sejak aksi besar-besaran Muslim pada 2016 lalu. Sebuah gerakan yang menyebabkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dituduh melakukan penistaan agama gagal menempati kembali kursi nomor satu di Ibu Kota.
BTP, demikian kini dipanggil, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Jokowi. Ia menjabat sebagai wakil gubernur kala Joko Widodo memulai pengabdiannya di Jakarta pada 2012 lalu.
"Saya mendukung Aksi Bela Islam karena hal itu menunjukkan bagaimana umat Islam di Indonesia bersatu untuk membela agama kami," kata Anna. "Saya memutuskan untuk melakukan hijrah pada Januari 2017," ujarnya seperti ditulis Nikkei.
Populasi Milenial
Menurut Nikkei, Anna adalah satu dari populasi milenial Indonesia yang besar. Mereka orang-orang kelahiran 1980-an sampai awal 2000-an yang bakal memainkan peran penting untuk menentukan hasil pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum memperkirakan jumlah kelompok milenial mewakili 40% dari total 192 juta daftar pemilih tetap.
"Milenial adalah kelompok usia terbesar dalam pemilu, mereka adalah orang-orang yang akan menentukan masa depan Indonesia," kata Hasanuddin Ali, seorang analis politik dan kepala eksekutif perusahaan riset Alvara Research Center seperti dikutip Nikkei.
Nikkei menuliskan bahwa kelompok milenial adalah basis pemilih yang mengantar Jokowi ke kursi kepresidenan lima tahun lalu. Saat itu ia dipandang sebagai sosok reformis, segar, di luar wajah-wajah politisi yang dalam 20 tahun terakhir mendominasi panggung politik Indonesia sejak rezim Soeharto lengser pada 1998.
Namun, lanjut Nikkei, lima tahun nyatanya cukup untuk membuat tren pemilih muda 2014 bergeser. Sebuah survei yang dirili pada Maret oleh Litbang Kompas menunjukkan persaingan ketat antara kedua kandidat di antara para pemilih milenial.
Bagi mereka yang berusia antara 22 dan 30, selisih dukungan untuk keduanya berada di kisaran 8,1 persen. Sementara bagi mereka yang berusia antara 31 dan 40, terdapat selisih 6,9 persen. Angka ini relatif lebih kecil dibandingkan perbandingan dukungan di generasi lebih tua yang menempatkan keunggulan dua digit bagi Jokowi. Prabowo bahkan tercatat unggul di kalangan pemilih pemula atau Generasi Z.
Toto Suryaningtyas, peneliti di Litbang Kompas, mengatakan gerakan hijrah di kalangan millenial telah memainkan peran dalam erosi popularitas Jokowi.
"Fenomena meningkatnya keterikatan pada budaya dan nilai-nilai agama ... jelas memiliki dampak. Khotbah di masjid sekarang sering diarahkan untuk mendukung Prabowo,” ungkap Toto kepada Nikkei.
Toto menambahkan bahwa ceramah yang sama sering menyerang kebijakan Jokowi. Sejumlah penceramah bahkan menyebut Jokowi bertanggung jawab atas ketidakadilan dan kemiskinan.
Namun kondisi ini tak lantas memperkuat hipotesis bahwa ideologi Islam telah berpengaruh dalam berkembangnya fenomena ‘lebih saleh’ yang dialami generasi muda Indonesia. Sebuah studi tahun lalu oleh Alvara menunjukkan bahwa 81% Muslim milenial Indonesia masih mendukung prinsip-prinsip sekuler yang mendukung kesatuan Republik Indonesia, berbeda dengan 19% yang tampaknya mendukung kekhalifahan Islam.
Bahkan, partai politik yang didirikan khusus untuk milenial Partai Solidaritas Indonesia, mewakili sisi berlawanan dari fenomena hijrah. Didirikan pada tahun 2014 dengan syarat orang-orang di atas 45 tahun tak bisa bergabung, partai ini telah mengajukan calon milenial untuk pemilihan legislatif mendatang. Mereka membawa agenda penolakan poligami, lebih banyak perlindungan untuk hak-hak perempuan dan pelonggaran undang-undang penistaan agama di Indonesia.
Studi Alvara lain menemukan bahwa sekitar 40% responden diidentifikasi memiliki orientasi nasionalis-religius, 36% berorientasi nasionalis dan 23% berorientasi agama dalam pandangan politik mereka.
"Sebagian besar Muslim Indonesia milenial dengan orientasi nasionalis dan nasionalis-keagamaan memilih Joko Widodo," kata Ali.
"Sementara itu yang berorientasi pada agama, sebagian besar berpihak pada Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Bagi Jokowi ... kompetisi sekarang semakin ketat untuk memenangkan pemilih muda, dengan religiusitas yang tumbuh menjadi salah satu faktor."