Bisnis.com, JAKARTA - Jumlah korban tewas akibat perang saudara di Tripoli, Libya bertambah sampai 47 orang dan korban luka-luka tercatat mencapai 181 orang.
Korban tewas dalam pertempuran itu termasuk warga sipil dan dua orang dokter. Menurut juru bicara Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tarik Jasarevic, konflik itu juga dikhawatirkan membuat persediaan obat-obatan menipis.
Komisioner Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, khawatir konflik itu membuat posisi warga sipil menjadi rentan. Mereka bisa dimanfaatkan sebagai perisai hidup atau dipaksa angkat senjata untuk masing-masing pihak yang bertikai.
"Rakyat Libya sudah terjebak cukup lama dalam peperangan kelompok bersenjata, dan beberapa di antaranya mengalami pelanggaran HAM yang paling buruk," kata Bachelet sebagaimana dikutip Reuters, Rabu (10/4/2019).
Amerika Serikat, Uni Eropa, Anggota G7 dan PBB sudah meminta pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) dipimpin Jenderal Khalifa Haftar, dan prajurit pemerintah Libya di Tripoli (GNA) melakukan gencatan senjata. Namun, imbauan itu belum dihiraukan.
Sejak pasukan pemberontak yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menumbangkan Moamar Khadafi pada 2011, pemerintah Libya justru kacau balau. Haftar yang mempunyai pasukan menguasai wilayah timur dengan pusat pemerintahan di Benghazi.
Sejumlah persenjataan pasukan Libya di masa mendiang Khadafi juga dicuri dan dijual di pasar gelap.
Pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj pun tidak efektif. Sebab, dia tidak mampu menjaga wilayahnya karena sejumlah suku mempersenjatai diri dan menguasai ladang-ladang minyak, dan beberapa kelompok bersenjata malah saling serang memperebutkan banyak hal.
PBB hanya mengakui pemerintah Libya di Tripoli. Sedangkan faksi lain membentuk pemerintah tandingan di Benghazi.