Bisnis.com, JAKARTA - Partai Gerindra didorong membuka ke publik metodolodi penelitian dari survei internalnya yang menyebut elektabilitas pasangan calon presiden (capres) nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno jauh di atas capres nomor 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
"Jika metodologi penelitian itu tidak dibuka ke publik, hasil survei itu tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujar pengajar ilmu politik di FISIP UI Sri Budi Eko Wardani, Selasa (9/4/2019), dalam keterangan tertulisnya.
Hal itu disampaikannya menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono pada Senin (8/4) lalu, yang menyebut elektabilitas Prabowo unggul jauh atas Jokowi.
"Kami punya survei internal, 62 persen Prabowo, 38persen Jokowi. Kita punya asesmen 62 persen. Terus yang selama ini beredar Prabowo-Sandi selalu di angka yang rendah," kata Sugiono.
Dalam pandangannya selaku akademisi, Sri mempertanyakan motif dari diumumkannya hasil survei internal partai tersebut.
"Kalau survei digelar internal, seharusnya itu hanya untuk konsumsi internal, bukan diumumkan ke publik. Menjadi konsumsi internal buat menyusun strategi internal. Tapi jika itu diumumkan, itu artinya ada motif untuk membangun opini publik," terang doktor di bidang politik tersebut.
Baca Juga
Sri yang pernah aktif di Pusat Kajian Politik UI itu juga menambahkan, setelah hasil survei internal itu dibuka ke publik, menjadi tanggung jawab moral bagi Gerindra untuk menjelaskan metode penelitian surveinya.
"Ketika sudah menjadi pengetahuan publik, survei itu harus dibuka, termasuk metodologi penelitiannya sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus kritis soal itu, penelitinya pun harus bisa menjelaskan," terangnya.
Terlepas dari itu, Sri melihat di tahun politik ini banyak bermunculan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang belum diketahui kredibilitasnya.
"Ada lembaga survei yang sudah teruji kredibilitasnya dan hasil surveinya terbukti mendekati kebenaran. Tapi saat ini banyak bermunculan lembaga survei yang belum diketahui track recordnya, tiba-tiba membuat survei. Ini yang harus dikritisi masyarakat," ujarnya.
Jika masyarakat tidak kritis, sambung dia, akan terbangun opini masyarakat yang asal percaya atas hasil survei yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan metodologi penelitiannya. Apalagi, jika hasil survei itu dipercaya sebagai gambaran nyata Pilpres 17 April nanti.
"Jika hasil pilpres yang tidak sesuai dengan hasil survei internal kemudian dikatakan ada kecurangan, itu salah besar. Ini berbahaya dan KPU harus menjawabnya. KPU harus menjawab hasil survei tidak menggambarkan populasi pemilih yang mencoblos," tegasnya.
Sri menjelaskan, survei itu bukan alat pengukur populasi. Sementara hasil pemilu adalah gambaran populasi pemilih.
Survei itu menyaring pendapat. Pendapat itu bisa berubah-ubah, bahkan hingga di bilik suara. Sementara quick count, itu ditanya kepada pemilih setelah mencoblos. Jadi quick count bisa menjadi alat pembanding hasil penghitungan. Bukan hasil survei," tutupnya. (*)