Bisnis.com, JAKARTA – “Duh, saya enggak sempat mengurus perpindahan Tempat Pemungutan Suara nih. Sekarang masih bisa enggak ya?”
“Apa saja syarat mengurus perpindahan lokasi mencoblos kali ini?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering terdengar menjelang Pemilu. Tak sedikit pekerja yang bertugas di luar kota asalnya tak bisa pulang untuk mencoblos karena berbagai hal, misalnya ongkos transportasi yang mahal atau memang tak bisa meninggalkan kantor sama sekali.
Itulah yang turut menjadi alasan diajukannya permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas UU Pemilu, di antaranya memperpanjang waktu pindah Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga H-7 atau 10 April 2019. Putusan itu menganulir aturan dalam Pasal 210 UU Pemilu yang menyebut perpindahan pemilih bisa dilakukan maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara.
Namun, ternyata tak semua warga yang sampai saat ini belum mengurus perpindahan TPS bisa merasa lega. Pasalnya, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar pemilih bisa mengurus perpindahan sampai waktu tersebut.
Baca Juga
Pasien dan penunggu pasien mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus dalam rangka Pilkada 2018 di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/6/2018)./JIBI-Rachman
Dalam putusan atas perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, Kamis (28/3/2019), MK membatasi izin mengurus syarat pindah TPS hingga H-7 hanya bagi pemilih yang sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas saat pemungutan suara. Itu artinya, pemilih yang tak memenuhi syarat-syarat tersebut tak bisa mengurus perpindahan TPS karena batas waktu sudah terlewati.
Ada alasan yang menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan perkara batas waktu untuk pindah TPS. Menurut para hakim konstitusi, batas waktu dan pemberlakuan syarat untuk pemilih yang hendak pindah TPS pada H-7 diperlukan agar penyelenggara Pemilu dapat memenuhi kebutuhan logistik pemungutan suara.
"Pemilahan batas waktu demikian perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pindah memilih dalam jumlah besar karena alasan pekerjaan atau alasan lain mendekati hari pemungutan suara sehingga tidak tersedia lagi waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk menyediakan tambahan logistik pemilu," tulis MK dalam pertimbangannya, seperti dikutip Bisnis, Kamis (4/4).
Keputusan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan. Sebab, dalam putusannya, MK tidak memperjelas arti dari frasa orang yang "menjalankan tugas saat pemungutan suara".
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan frasa itu ditujukan bagi penyelenggara Pemilu yang bekerja saat pemungutan suara. Artinya, pemilih non penyelenggara Pemilu tak bisa mengurus perpindahan TPS hingga H-7 meski nantinya bekerja pada hari pemungutan suara.
"Kalau dilihat konteksnya, [frasa] 'pemilih yang sedang menjalankan tugas' itu memang terbatas pada penyelenggara Pemilu," tuturnya kepada Bisnis, Kamis (4/4).
Tak Sejalan
Penjelasan MK soal syarat pemilih yang bisa mengurus perpindahan TPS hingga H-7 itu tak sejalan dengan niat uji materi yang diajukan sejumlah lembaga pemerhati Pemilu dalam perkara terkait.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan uji materi yang diajukan pihaknya sebenarnya bertujuan agar pemilih yang terancam harus pindah TPS karena hal-hal di luar kendalinya bisa mengurus perpindahan lokasi memilih hingga H-3 Pemilu.
Dalam permohonannya, penggugat Pasal 210 UU Pemilu tak meminta MK memberlakukan syarat pemilih seperti apa yang bisa mengurus perpindahan hingga H-3. Mereka menganggap layanan pindah memilih harus diperpanjang hingga H-3 untuk mengakomodasi para pekerja di bidang media, pilot, dokter, dan profesi lain.
"Permohonan kami muncul kan karena dihadapkan pada realita tidak semua warga masuk, terfasilitasi dengan batasan H-30, baik dari sisi sosialisasi maupun pelaksanaan ketika proses pindah memilih berlangsung," paparnya kepada wartawan, Rabu (3/4).
Titi juga heran lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang menjelaskan spesifik maksud frasa "orang yang bertugas saat pemungutan suara".
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana (tengah) bersama peneliti utama NETGRIT Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan), Direktur PERLUDEM Titi Anggraini (ketiga kiri), dan sejumlah aktivis usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019)./ANTARA-Reno Esnir
Dalam SE yang dikeluarkan pada Jumat (29/3), KPU hanya meminta penyelenggara Pemilu di daerah menjalankan putusan MK sesegera mungkin. KPU menginstruksikan agar pemilih yang sesuai kriteria putusan MK dilayani permohonan pindah memilihnya dan dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) Pemilu 2019.
Berdasarkan catatan Bisnis, per 17 Februari 2019, jumlah DPTb tercatat mencapai 275.923 orang. Jumlah itu tersebar di 87.483 TPS yang ada di 30.118 desa/kelurahan, 5.027 kecamatan, dan 496 kabupaten/kota.
Penjelasan yang sama dengan SE itu juga disampaikan Ketua KPU Arief Budiman. Menurutnya, putusan MK sudah jelas memerinci siapa saja pemilih yang bisa berpindah TPS hingga H-7 pemungutan suara.
Alih-alih menjelaskan lebih rinci, Arief justru mengimbau masyarakat menggunakan hak suaranya di lokasi mereka terdaftar. Dia menuturkan jika pindah TPS, maka ada kemungkinan pemilih kehilangan hak memilih calon anggota legislatif (caleg), entah di tingkat kabupaten/kota atau provinsi.
"Kalau kamu pindah memilih itu kamu akan kehilangan sebagian dari hak konstitusional yang sudah diberikan negara kepada kamu," ungkap Arief di kantor KPU, Selasa (2/4).
Penjelasan serupa disampaikan Komisioner KPU Viryan Aziz. Dia menyebutkan ada dua kelompok pemilih yang bisa berpindah TPS hingga H-7 pemungutan suara, yakni pemilih yang bertugas terkait kepemiluan dan pegawai petugas.
Sebelumnya, Direktur Pusat Studi Komunikasi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari memandang keputusan MK atas permohonan uji materi ini bisa mempengaruhi tingkat golput yang akan muncul.
Pasalnya, masyarakat yang sebelumnya terkendala memilih karena persoalan teknis jadi bisa terbantu. Kendala teknis ini misalnya belum memiliki KTP elektronik, belum mengurus perpindahan TPS, dan hambatan-hambatan serupa.
"Tentu berpengaruh [terhadap jumlah golput]. Tapi signifikan atau tidak, sangat bergantung fakta di lapangan. Golput teknis yakni tidak bisa memilih karena tak ada KTP-el atau surat keterangan tentu akan terbantu. Tapi untuk golput ideologis, akan sulit putusan MK mengubah keadaan. Saya merasa untuk golput ideologis tidak akan berimbas," terangnya kepada Bisnis, Rabu (27/3).
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) dan Perwakilan Duta Besar Negara Sahabat menghadiri kegiatan Diseminasi dan Berbagi Informasi tentang Pemilu di kantor KPU Pusat, Jakarta, Selasa (2/4/2019)./ANTARA-Reno Esnir
Tingkat golput dalam Pemilu tahun ini diperkirakan tak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni sekitar 30%. Adapun jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 192,83 juta jiwa.
Pemerintah juga menargetkan tingkat partisipasi Pemilu tahun ini dapat mencapai 77,5 persen. Pada Pemilu 2014, angkanya berada di kisaran 74 persen.
Berpotensi Sengketa
Titi menilai jika KPU tidak memperbaiki SE untuk menanggapi putusan MK, maka ada potensi persoalan pindah memilih akan menjadi bahan sengketa Pemilu 2019.
"Yang harus dihindari jadi ketidakseragaman pelaksanaan di lapangan tak boleh terjadi. Karena asas dalam penyelenggaraan Pemilu salah satunya adalah berkepastian hukum dan tertib, taat pada satu aturan yang sama. Berkepastian hukum tak membuka ruang pada multiinterpretasi dalam praktik di lapangan," jelasnya.
Perludem khawatir kerancuan yang muncul dalam menerjemahkan syarat pemilih yang bisa pindah TPS hingga H-7 menimbulkan perbedaan sikap KPU di daerah. Hal itu bisa dihindari jika KPU pusat mengeluarkan edaran yang memerinci batasan pemilih terkait.
"Melaksanakan tugas pada hari pemungutan suara itu untuk kegiatan seperti apa? Apakah hanya untuk saksi Pemilu, ataukah hanya untuk jurnalis, pada pilot, petugas medis, atau gimana? Ini KPU harus pertegas agar tak ada kebingungan antara peserta, pemilih, dan penyelenggara di lapangan," tegas Titi.