Bisnis.com, JAKARTA -- Kurang dari sebulan lagi Pemilu 2019 bakal digelar. Namun, persiapan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan pihak-pihak terkait lainnya masih bisa berubah jika Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima permohonan uji materi atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ada sejumlah perubahan yang bisa terjadi apabila Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menerima seluruh atau sebagian permohonan uji materi atas UU Pemilu. Perubahan terbesar yang bisa muncul adalah dimungkinkannya pemilih berpindah Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga H-3 Pemilu 2019.
Kemungkinan itu muncul karena pasal mengenai pemilih yang bisa berpindah TPS termasuk bagian yang diuji ke MK. Jika ditotal, ada 5 pasal di UU Pemilu yang sedang diajukan uji materinya ke MK pada perkara nomor 19/PUU-XVII/2019 dan 20/PUU-XVII/2019.
Gugatan terhadap UU Pemilu kali ini diajukan 2 orang mahasiswa dari Bogor, lembaga pemerhati Pemilu Perludem, Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Fery Amsari, warga binaan Augus Hendy dan A. Murogi Bin Sabar, serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.
MK telah mengumumkan bahwa pembacaan putusan terhadap gugatan tersebut akan dilakukan pada Kamis (28/3/2019). Itu artinya, putusan MK akan dibacakan tepat 20 hari sebelum masa pemungutan suara tiba.
Mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana (tengah) bersama peneliti utama Netgrit Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan), Direktur Perludem Titi Anggraini (ketiga kiri), dan sejumlah aktivis usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019)./ANTARA-Reno Esnir
Kelima pasal yang digugat para pemohon adalah Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4) dan (9), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2). Beleid-beleid itu mengatur hal yang berbeda di UU Pemilu.
Pasal 210 ayat (1) mengatur batas maksimal diperbolehkannya pemilih berpindah TPS yakni 30 hari sebelum Pemilu berlangsung. Pemilih yang pindah TPS masuk dalam kategori Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
Pada pasal 348 ayat (4) tercantum aturan mengenai hak pemilih yang pindah TPS. Pemilihan yang bisa diikuti pemilih pindahan berbeda-beda, tergantung cakupan TPS asal dan tujuan.
Pasal 348 ayat (9) mengatur KTP elektronik (KTP-el) sebagai syarat agar pemilih yang telah memiliki hak suara bisa menggunakan suaranya. Kemudian, pada Pasal 350 ayat (2) diatur mengenai syarat pembentukan TPS.
Terakhir, pasal 383 ayat (2) mengatur jangka waktu penghitungan suara di TPS yang dibatasi maksimal selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara.
Apa yang Berubah?
Pihak-pihak yang mengajukan uji materi UU Pemilu ingin MK membatalkan aturan waktu maksimal orang bisa pindah TPS. Dalam salinan kesimpulan permohonan uji materi yang diterima Bisnis, MK diminta mengubah batas waktu dari 30 hari menjadi 3 hari sebelum pemungutan suara dilakukan.
Jika permohonan itu dikabulkan, maka pemilih yang hendak pindah TPS dapat kembali mengurus syarat-syarat yang diperlukan hingga 14 April 2019. Sebelumnya, batas waktu pengurusan pindah memilih sudah terlewat sejak 17 Maret 2019.
Penggugat juga ingin pemilih yang pindah TPS dapat tetap memilih calon anggota legislatif (caleg) alih-alih hanya mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres). Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, pemilih yang pindah TPS tak bisa menggunakan hak suara untuk memilih caleg DPR, DPD, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPRD Provinsi.
Warga mengamati miniatur Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berisi tahapan pada hari pencoblosan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 yang dibuat oleh KPU di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (9/1/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Kemudian, penggugat ingin MK mengizinkan penggunaan kartu identitas selain KTP-el oleh pemilih agar bisa menggunakan hak suaranya. Bukti identitas yang dimaksud di antaranya Kartu Keluarga (KK), KTP non-elektronik, surat keterangan (suket), akta kelahiran, atau buku nikah.
Mereka juga menginginkan MK mengizinkan pembuatan TPS berdasarkan DPTb. Permintaan ini untuk mengantisipasi kekurangan surat suara akibat penumpukan pemilih baru di suatu daerah.
Terakhir, penggugat ingin masa waktu penghitungan suara di TPS diperpanjang. Perpanjangan waktu penghitungan suara diusulkan maksimal 1 hari setelah Pemilu digelar.
Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay mengatakan permohonan uji materi itu tidak akan menganggu tahapan Pemilu yang sedang berjalan. Keyakinan itu didasarkan pada alasan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengetahui pokok-pokok gugatan tersebut.
Menurutnya, KPU sebenarnya membutuhkan landasan hukum kuat untuk menjalankan tanggung jawab dalam Pemilu, seperti menjamin hak pilih warga, membangun TPS baru sesuai DPTb, dan menghitung suara hingga tuntas di TPS. Landasan hukum yang kuat bisa muncul salah satunya dengan pengajuan uji materi ke MK.
“KPU tahu betul apa yang digugat ini juga mereka butuhkan untuk menuntaskan tanggung jawab mereka dalam Pemilu. Mereka butuh landasan hukum yang kuat, misalnya yang terkait logistik ini agar mereka bisa membangun TPS di daerah-daerah tertentu berdasarkan DPTb. Kemudian, bahwa batas waktu [perpindahan TPS] 30 hari mundur jadi 3 hari itu dalam rangka untuk melayani banyak pemilih,” ujar Hadar kepada Bisnis, Selasa (26/3).
Dia mengakui KPU tak akan punya waktu cukup untuk mencetak surat suara baru guna mengakomodasi pemilih tambahan jika gugatan terhadap pasal 210 ayat (1) UU Pemilu diterima MK. Tetapi, KPU dinilai bisa melakukan redistribusi surat suara di tingkat lokal.
Petugas mengangkat kardus berisi surat suara Pemilu 2019 saat tiba di KPU Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (31/1/2019)./ANTARA-Oky Lukmansyah
Melalui redistribusi surat suara, KPU bisa mengantisipasi kekurangan surat suara di satu TPS dengan melakukan subsidi surat suara dari TPS lain yang terdekat. Hal itu disebut Hadar sudah pernah dilakukan KPU pada penyelenggaraan Pemilu terdahulu.
Eks Komisioner KPU periode 2007-2017 itu juga menyebutkan jika MK mengabulkan gugatan atas Pasal 350 ayat (2), maka KPU bisa membentuk TPS baru dan mencetak surat suara sesuai jumlah DPTb per 17 Maret 2019. Dia memandang pencetakan surat suara baru untuk DPTb per 17 Maret 2019 masih dimungkinkan.
“Pencetakan [surat suara baru] hanya bisa dilakukan untuk DPTb yang kemarin ditutup per 17 Maret itu. Sudah ketahuan berapa DPTb di sekitar universitas ini, RS itu, pesantren itu, perkebunan mana, pertambangan mana. Kalau [gugatan ini] dikabulkan, maka [surat suara] tinggal dicetak dan waktunya masih cukup,” tutur Hadar.
Tingkat partisipasi mencoblos juga diharapkan meningkat. Menurut Direktur Pusat Studi Komunikasi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari yang menjadi bagian dari gugatan UU Pemilu kali ini, keputusan MK nanti bisa mempengaruhi tingkat golput yang akan muncul.
Pasalnya, masyarakat yang sebelumnya terkendala memilih karena persoalan teknis jadi bisa terbantu. Kendala teknis ini misalnya belum memiliki KTP-el, belum mengurus perpindahan TPS, dan hambatan-hambatan serupa.
"Tentu berpengaruh [terhadap jumlah golput]. Tapi signifikan atau tidak, sangat bergantung fakta di lapangan. Golput teknis yakni tidak bisa memilih karena tak ada KTP-el atau surat keterangan tentu akan terbantu. Tapi untuk golput ideologis, akan sulit putusan MK mengubah keadaan. Saya merasa untuk golput ideologis tidak akan berimbas," terangnya kepada Bisnis.
Tingkat golput dalam Pemilu tahun ini diperkirakan tak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni sekitar 30%. Adapun jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 192,83 juta jiwa.
Sampai dengan pertengahan Februari 2019, KPU melaporkan jumlah pemilih pindahan mencapai 275.923 orang.
Kecurangan Pemilu
Masyarakat diimbau untuk tidak khawatir jika nantinya MK mengabulkan seluruh atau sebagian gugatan terhadap UU Pemilu. Hadar menerangkan kekhawatiran tak perlu muncul karena gugatan yang diajukan pihaknya semata untuk pelaksanaan Pemilu yang lebih baik.
Jika gugatan atas Pasal 348 ayat (9) dikabulkan, maka ada potensi pemilih menggunakan hak suara bermodal bukti identitas selain KTP-el.
Meski ada potensi pemalsuan dokumen kependudukan demi mengikuti Pemilu, tapi dia menyatakan hal itu tak perlu dikhawatirkan. Mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap pemilih di TPS diyakini bisa meminimalisir kemungkinan tindakan curang saat pemungutan suara digelar.
Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) mencetak KTP-el di Kantor Disdukcapil Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (24/10)./ANTARA-Adeng Bustomi
“Saya kira kita tidak perlu khawatir berlebihan. Tidak otomatis kalau kemudian kita kasih kelonggaran selain KTP elektronik maka akan otomatis kecurangan meningkat, ya enggak juga. Orang yang pakai KTP elektronik masih bisa juga berbuat curang dan sebagainya kan,” ucap Hadar.
Pendapat senada disampaikan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Selaku penggugat di perkara yang sama, dia menyebut keputusan MK nanti bisa memberi solusi bagi KPU untuk menjamin ketersediaan surat suara bagi pemillih.
Masyarakat pun dinilai tak perlu khawatir karena putusan MK nanti justru akan membuat hak pilih warga terjamin. Titi menuturkan KPU justru bisa menyediakan surat suara yang cukup untuk pemilih sehingga tak ada kekurangan logistik nantinya.
“Justru putusan ini akan jadi solusi kepastian hukum bagi KPU dalam menyediakan surat suara dalam melayani pemilih dalam Pemilu 2019,” tegasnya kepada Bisnis.
Pada kesempatan terpisah, Komisioner KPU Hasyim Asy’ari mengatakan lembaganya siap mengambil kebijakan strategis untuk mengakomodasi putusan MK nanti. Dia mengamini adanya kemungkinan redistribusi surat suara untuk memenuhi kebutuhan pemilih tambahan jika gugatan batas waktu pendaftaran DPTb dikabulkan MK.
“KPU akan mengambil kebijakan strategis untuk melayani pemilih dalam memilih sebagaimana arahan Putusan MK. Kami akan cek jumlah surat suara dan sebaran per TPS di masing-masing kabupaten/kota,” ujar Hasyim kepada Bisnis.