Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perkara Untag Dianggap Bukan Ranah Pidana

Perkara itu semestinya tidak masuk ke ranah pidana karena tidak adanya unsur pidana sebagaimana yang didakwakan, yaitu penggelapan dan penipuan.  
Ilustrasi
Ilustrasi

Kabar24.com, JAKARTA — Sengketa hukum antara Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 dengan terdakwa Tedja Widjaja dianggap bukan ranah pidana.

Hal itu dikatakan oleh kuasa hukum terdakwa, Andreas Nahot Silitonga, seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu (20/3/2019).

Dia mengatakan perkara itu semestinya tidak masuk ke ranah pidana karena tidak adanya unsur pidana sebagaimana yang didakwakan, yaitu penggelapan dan penipuan.  

“Dalam perkara ini, terdakwa didakwa melakukan penggelapan karena menjaminkan sertifikat tanah tanpa sepengetahuan Yayasan. Padahal, persidangan membuktikan bahwa sudah terjadi tanda tangan AJB dan balik nama, jadi sertifikat itu sudah atas nama terdakwa. Tadi saksi ahli menegaskan, kalau sudah AJB berarti sudah terjadi peralihan. Sehingga, tidak ada penggelapan, karena yang dijaminkan milik sendiri, bukan milik orang lain,” tuturnya.

Terkait dengan penipuan, katanya, harus terlebih dahulu mememuhi sejumlah unsur yang bisa dibuktikan di persidangan, di antaranya terkait dengan kerugian.

“Orang melaporkan penipuan itu kan setelah dia mengalami kerugian. Mana buktinya? Karena kami justru punya bukti telah melakukan pembayaran melalui transfer bank.

Sebagaimana tertulis dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Tedja Widjaja melakukan tindak pidana penipuan karena melakukan tipu muslihat dengan bujuk rayu, yaitu dengan cara menjanjikan penerbitan bank garansi agar pihak Untag bersedia menandatangani AJB, namun ternyata bank garansi tersebut tidak pernah terbit.

Tedja Widjaja juga didakwa melakukan penggelapan karena menjaminkan sertifikat tanah untuk mendapatkan pinjaman bank.

Dalam persidangan, Suparji, ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar yang dihadirkan oleh pihak terdakwa mengatakan, penggelapan secara subjektif mengandung unsur kesengajaan dan secara objektif bermaksud memiliki barang orang lain.

Dalam kasus ketika ada transaksi jual beli tanah dan sudah terjadi penadantanganan AJB, maka berarti sudah terjadi peralihan, balik nama. Tanah tersebut sepenuhnya sudah milik pembeli. Ketika kemudian pembeli menjaminkan sertifikat tanah tersebut maka tidak ada tindak pidana penggelapan, karena unsur “milik orang lain” tidak terpenuhi.  

Sementara penipuan menurut Suparji bisa diterjemahkan sebagai sebuah tindakan sengaja atas niat tidak baik (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan serangkaian kebohongan yang merugikan orang lain.

“Jadi dalam perkara pidana penggelapan dan penipuan tetap harus ada unsur niat jahat dengan sengaja. Kalau penipuan itu niat jahatnya di awal, sedangkan penggelapan di belakang,” terang Suparji .

Menjawab pertanyaan JPU bagaimana jika penandatanganan AJB terjadi karena ada penipuan melalui janji dan bujuk rayu, Suparji mengatakan bahwa hal itu perlu diuji dan dibuktikan berdasarkan sejumlah bukti.

“Untuk memutuskan seseorang melakukan tindak pidana tidak boleh hanya menggunakan satu alat bukti. Apalagi jika itu hanya kesaksian dari korban, harus dilihat dulu apa motifnya,” ujarnya.

Lebih lanjut Suparji mengatakan jika dalam suatu perkara hukum dasar persoalannya adalah perjanjian atau kesepakatan, maka seharusnya masuk ranah perdata. Misalnya, jika ada dari perjanjian yang tidak terpenuhi, pihak yang dirugikan bisa melakukan somasi atau gugatan wanprestasi. “Pada beberapa kasus dimungkinkan terjadi transformasi dari perdata ke pidana jika memang ditemukan unsur-unsur pidana seperti penipuan atau lainnya,” ucapnya. 

Terkait dugaaan pemalsuan dalam sengketa lahan Untag yang tidak masuk dalam dakwaan, Suparji menilai harus dikembalikan kepada isi dakwaan. Artinya, tidak bisa begitu saja didakwakan karena sebelumnya tidak ada dalam dakwaan.

“Surat dakwaan itu menjadi dasar bagi jaksa untuk mengajukan tuntutan, menjadi dasar bagi pembela untuk melakukan pembelaan dan dasar bagi hakim untuk membuat putusan. Jadi, putusan pidana itu harus mengacu pada dakwaan. Akan muncul ketidakadilan hukum jika ketika persidangan ada perkara baru yang diperiksa yang sebelumnya tidak ada dalam dakwaan,” katanya.

Sumber perkara sendiri bermula dari transaksi jual-beli antara Yayasan Untag yang diwakili Rudyono Darsono dengan Tedja Widjaya selaku Direktur PT Graha Mahardika atas lahan milik yayasan Untag seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65,6 miliar pada 2009.

Dalam transaksi tersebut disepakati empat bentuk pembayaran yang tertuang dalam akta perjanjian kerja sama No.58, tangal 28 Oktober 2009, yang seluruhnya sudah dilunasi oleh Graha Mahardhika.

Pada Juni 2017, Yayasan Untag melaporkan dugaan tindak pidana oleh Tedja Widjaja ke polisi yang ditindaklanjuti oleh polisi dengan melakukan penyidikan dan proses hukumnya kemudian bergulir hingga ke pengadilan.

Dalam dakwaannya, Penuntut Umum menuduh Tedja Widjaja belum melakukan pembayaran sebesar Rp15 miliar yang akan digunakan Untag untuk membeli tanah di lokasi lain sebagai pengganti tanah di Sunter.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper