Bisnis.com, JAKARTA — Bagi Kiki, Pemilihan Umum serentak 2019 adalah hal baru karena menjadi pengalaman pertamanya terlibat dalam pesta demokrasi. Tentu hal ini tidak akan disia-siakannya.
Kiki memutuskan tidak akan menjadi golongan putih (golput) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pertama Indonesia, di mana Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) digelar bersamaan. Berbagai informasi dia cari agar tak salah memilih.
Tujuan dara usia 18 tahun ini satu, yaitu menjadikan Indonesia lebih baik. Dengan ikut memilih, Kiki berharap bisa berkontribusi positif bagi negara. Apalagi, satu suara sangat berharga dan juga menentukan.
Baginya, mendapatkan data calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak begitu sulit. Selain banyak diberitakan media, teman-teman Kiki sering berbagi melalui berbagai cara. Ada media sosial, ada pula grup percakapan pesan instan.
Berbagai informasi tersebut tentu sangat berarti untuk menentukan pilihan. Sayang, dari banyaknya sebaran informasi mengenai pasangan capres dan cawapres, profil para calon anggota legislatif justru sangat minim.
Baca Juga
Warga melintas di depan baliho berisi sosialisasi tentang warna surat suara yang terpasang di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Senin (18/2/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Jumlah calon yang begitu banyak membuatnya malas mencari tahu. Apalagi, banyak caleg yang menutup diri dan tidak mau membuka profil melalui laman Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Padahal, KPU adalah salah satu sumber informasi lengkap dan valid yang menjadi rujukan.
“Aku tidak terlalu menghiraukan juga. Cuma apa mereka tidak rugi ya kalau tidak tunjukkan visi misi mereka ke rakyat? Kan kalau mereka tidak tunjukkan diri, rakyat yang milih bakal asal saja milih calon anggotanya,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Memang, masih banyak calon legislatif (caleg) yang tidak bersedia membuka data diri melalui laman KPU. Hal ini dikhawatirkan dapat meningkatkan politik uang.
Berdasarkan data KPU, sebanyak 2.049 dari 8.037 caleg, atau sekitar 25% dari seluruh caleg, tidak bersedia membuka daftar riwayat hidupnya.
Di sisi lain, jumlah pemilih pemula mencapai 5 juta orang dari total keseluruhan 192 juta penduduk Indonesia yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sementara itu, jumlah pemilih muda yang berusia maksimal 40 tahun adalah sekitar 100 juta jiwa.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Berkarya Priyo Budi Santoso mengklaim bahwa semua caleg partai tersebut telah membuka diri. Dia menilai kekhawatiran utama saat ini adalah bagaimana kampanye yang dilakukan caleg harus berbeda dengan sebelumnya agar tidak tenggelam dalam hiruk pikuk Pilpres.
Awalnya, Priyo--yang menjadi caleg DPR Jawa Timur 1--memasang baliho besar-besaran dalam jumlah masif. Tetapi, konsultan politik melarangnya karena kampanye seperti itu dianggap sudah ketinggalan zaman dan dia pun disarankan untuk turun langsung menyapa warga.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum harus direvisi, terutama soal pelaksanaan Pemilu serentak. Sudah setengah tahun kampanye berjalan, Priyo mengambil kesimpulan bahwa popularitas caleg belum terasa.
Apalagi, publik harus menggunakan suaranya untuk memilih empat suara caleg, yang jumlah totalnya bisa mencapai ribuan. Sekeras apapun para caleg berjuang, tetap masih lebih dilirik capres dan cawapres.
Capres Joko Widodo (kedua kanan) dan Prabowo Subianto (kanan) berfoto bersama moderator debat Tommy Tjokro (kiri), dan Anisha Dasuki usai debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
“Hemat saya, Pilpres bersamaan dengan Pileg adalah langkah uji coba yang terlalu berani kita lakukan sebagai bangsa. Karena hiruk pikuk Pilpres secara nasional kelihatan dan Pileg tenggelam. Tidak ada guna di sini saya bicara tentang kampanye diri saya sebagai Pileg,” ucap Priyo.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan bahwa dampak keterbukaan informasi caleg sangat terasa kepada pemilih pemula.
“Karena bagaimanapun mereka harus tahu data tersebut. Ini agar tidak malah terkecoh dengan hal-hal yang sifatnya artifisial, simbolik, dan rentan untuk jadi target sasaran politik uang,” jelasnya.
Titi mengemukakan keterbukaan informasi sangat penting bagi pemilih muda. Apalagi, pamor Pileg kalah jauh dari Pilpres.
“Karena mereka tidak tahu, ya sudah mereka didekati dengan cara pragmatis sehingga pemilih menjadi permisif,” ujarnya.
Jika pemilih mendapat informasi memadai, maka hal itu bisa membuka pandangan pemilih mana caleg yang baik dan buruk. Tentu, tujuan utamanya menghindari cara menyimpang caleg itu sendiri.
Ketua KPU Arief Budiman mengaku bahwa pihaknya telah mengirim surat pemberitahuan kepada para pimpinan partai. Isinya yaitu agar petinggi partai memeriksa kembali para kadernya dan bersedia profilnya diumumkan kepada publik.
Pada dasarnya, alasan para caleg tidak mau mengumumkan data diri karena beberapa informasi yang diberikan kepada publik bersifat pribadi dan dilindungi oleh undang-undang. Itu sebabnya tidak ada paksaan untuk dibuka.
Ketua KPU Arief Budiman (kanan) bersama Komisioner KPU Ilham Saputra (kiri) menunjukkan berkas caleg berstatus terpidana korupsi pada Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (19/2/2019)./ANTARA-Reno Esnir
Dia mencontohkan dalam informasi tersebut terdapat data kesehatan caleg. Data ini dianggap sebagai informasi pribadi sehingga ada beberapa calon yang khawatir data tersebut disalahgunakan.
Meski demikian, KPU mengklaim tetap memberikan informasi seperti foto calon, asal daerah pemilihan, dan asal partai.
Arief mengungkapkan dia akan mengecek kembali situs KPU untuk memperbarui data para caleg. Pasalnya, ada beberapa caleg yang menyatakan diri siap informasinya dibuka tapi di laman ternyata masih tertutup.
“Kalau pengalaman 2014, begitu ada yang mau dipublikasi maka yang awalnya tidak mau [dibuka] jadi mau,” terangnya.
Bagaimanapun, informasi mengenai rekam jejak dan latar belakang para caleg tentu sangat penting, baik bagi pemilih pemula maupun bukan. Jangan sampai Pemilu menjadi ajang membeli kucing dalam karung.