Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lahan HGU Bisa Diungkap Lewat Kebijakan Satu Peta? Ini Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria

Benarkah Kebijakan Satu Peta memiliki pengaruh besar atas keterbukaan data para penguasa tanah di negeri ini? Ini Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Lahan HGU/Ilustrasi
Lahan HGU/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Selepas Debat Capres II terselenggara, kini publik masih dihebohkan soal tanah ratusan ribu hektare milik capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

Beberapa pihak terutama BPN Prabowo-Sandiaga akhirnya menyebut bahwa seharusnya bukan hanya lahan Prabowo saja yang diungkap. Melainkan juga para "tuan tanah" di lingkaran kekuasaan, salah satunya milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Binsar Panjaitan.

Dalam hal ini, Luhut pun buka suara dengan menyatakan tak keberatan apabila tanahnya diungkap ke publik, "Beliau [Jokowi] juga bilang, tanahnya pak Luhut ada itu, dibuka saja. Enggak ada masalah, itu kan sekarang data publik," ungkap Luhut selepas menghadiri acara di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).

"Sekarang dengan One Map Policy [Kebijakan Satu Peta], saya ulangi ya, catat bener-bener, dengan One Map Policy yang sudah diumumkan, bisa kebuka nanti punya si fulan berapa sih [tanahnya], propertinya di mana saja. Nanti kau bisa tanya, kamu kok pejabat negara tidak pedagang, punya tanah di sana sini rumah di sana sini," tambahnya.

Benarkah Kebijakan Satu Peta memiliki pengaruh besar atas keterbukaan data para penguasa tanah di negeri ini? Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan beberapa catatan terkait kebijakan ini kepada Bisnis, Senin (25/2/2019).

"Kebijakan satu peta itu akan sia-sia jika data masyarakat itu tidak diakui," ungkap Dewi yang juga ditunjuk sebagai panelis pada Debat Capres II 17 Februai 2019 bertemakan energi, lingkungan hidup, SDA, pangan, dan infrastruktur ini.

"Yang diluncurkan baru-baru ini adalah baru peta tematik dari masing-masing kementerian. Sementara data-data masyarakat, peta-peta yang dibuat oleh masyarakat apakah itu gerakan masyarakat adat, apakah itu oleh petani, yang selama ini sudah diserahkan kepada pemerintah, itu tidak disertakan dalam peta tematik Kebijakan Satu Peta," tambahnya.

Oleh sebab itu, Dewi menilai selama pemerintah tidak melibatkan peta rakyat dalam Kebijakan Satu Peta, overlap atau tumpang tindihnya lahan konflik tidak akan bisa diselesaikan secara komprehensif. Padahal baik KPA, organisasi masyarakat adat, ataupun LSM lain, telah menyerahkan data tersebut pada awal periode pemerintahan.

"Nah, kalaupun satu peta itu bisa menjadi alternatif, bagaimana publik mengecek [tumpang tindih] overlap atau [mengetahui] pemilik-pemikik tanah di Indonesia, sebaiknya itu juga di-overlay dengan data-data yang diajukan oleh masyarakat," ungkap Dewi.

"Misalnya di KPA sendiri dari 456 lokasi prioritas reforma agraria, 60% berkonflik dengan HGU [Hak Guna Usaha] swasta ataupun PTPN [PT Perkebunan Nusantara] yang BUMN. Nah kalau data-data yang kita usulkan itu tidak direkognisi dengan kebijakan satu peta, otomatis ini bukan akan menyelesaikan sengkarut atau problem agraria di lapangan. Karena lagi-lagi diskriminatif terhadap data-data yang bottom up atau dari bawah," tambahnya.

Terakhir, Dewi berharap siapapun presiden terpilih nanti, harus sanggup mengatasi polemik terkait lahan konsesi seperti HGU, HGB [Hak Guna Bangunan], HTI [Hutan Tanaman Industri], ataupun izin tambang lewat beberapa langkah kebijakan.

Di antaranya, dengan mendorong Kementerian ATR/BPN membuka informasi lahan HGU kepada publik. Selanjutnya, ikut memasukkan data dan peta masyarakat ke dalam Kebijakan Satu Peta, agar tidak ada lagi tumpang tindih dengan perizinan yang dikeluarkan pemerintah pusat, bupati, atau gubernur.

"Untuk politik 2019, KPA posisinya menantang kedua kubu yang di visi-misinya tampak akan melakukan reformasi agraria," ungkap Dewi.

"Sementara dari hasil debat kemarin terkait reforma agraria, saya sanksi bahwa orientasi reforma agraria yang hendak dijalankan, baik 01 ataupun 02, itu memang betul-betul ingin menyelesaikan konflik, betul-betul ingin memperbaiki ketimpangan, dan ingin meredistribusikan kekayaan sumber-sumber agraria termasuk aset tanah itu kepada rakyat, yang selama ini terakumulasi dan terkonsentrasi di pemilik-pemilik modal besar," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper