Bisnis.com, JAKARTA — Keriuhan terkait lahan ribuan hektare milik capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang kerap disinggung oleh petahana Joko Widodo, seharusnya tidak hanya ditanggapi publik sebagai wacana Pemilu semata.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, yang juga ditunjuk sebagai panelis pada Debat Capres II, menjelaskan kepada Bisnis, Senin (25/2/2019) bahwa wacana ini juga harus dimanfaatkan untuk mendorong agar pemerintah secepatnya membuka data Hak Guna Usaha (HGU) kepada publik.
Terkait hal ini, Forest Watch Indonesia (FWI) pun telah membuat petisi di change.org bertajuk "Hentikan Konflik berkepanjangan! Menteri ATR/BPN Sofjan Djalil Harus #BukaInformasi HGU!" yang ketika berita ini ditulis, telah ditandatangani oleh 56.000 orang.
"Tuntutan, permintaan masyarakat sipil soal dibukanya data HGU ataupun lahan-lahan konsesi lainnya apakah itu HGB [Hak Guna Bangunan] atau HTI [Hutan Tanaman Industri] kalau itu di kawasan hutan, kemudian izin-izin tambang yang selama ini diberikan dan menimbulkan masalah di lapangan, itu sebaiknya dibuka dan tidak dikecualikan sebagai data rahasia publik," ungkap Dewi.
Dewi menjelaskan alasan pertama, yaitu telah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi bahwa data HGU merupakan data yang harus dibuka ke publik. Sebab, mengacu UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, data ini tidak masuk golongan informasi rahasia atau bisa dikecualikan untuk dibuka ke khalayak.
"Nah, sayangnya pascaputusan MA itu, sampai sekarang kementerian ATR/BPN seperti enggan untuk membuka dan menjalankan keputusan kasasi tersebut," ungkapnya.
Alasan berikutnya, ketidakterbukaan data HGU telah menyebabkan ketimpangan antara masyarakat rawan konflik dengan penguasa modal seperti elit bisnis atau elit politik. Akibatnya, konflik agraria pun tak bisa terhindarkan, bahkan dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang notabene BUMN sekalipun.
"Kenapa data HGU itu penting dan tidak bisa dikecualikan, karena memang dalam catatan KPA sendiri, perkebunan-perkebunan yang mengantongi izin HGU, apakah itu perkebunan swasta atau perkebunan milik negara seperti PTPN itu dari pemerintahan SBY sampai pemerintahan Jokowi itu selalu menjadi nomor satu penyumbang konflik agraria tertinggi," jelasnya.
"56% petani kita itu gurem. Kepemilikan tanahnya di bawah 0,3 hektare. Kemudian banyak sekali buruh-buruh tani dan buruh-buruh kebun, itu dulunya merupakan petani sekarang terlempar menjadi buruh kebun dengan upah yang sangat rendah dan tidak ada jaminan sosial dan rasa aman," tambah Dewi.
Terkait hal ini, Dewi memaparkan beberapa contoh kasus yang bisa menjadi landasan, kenapa data HGU ini penting untuk segera dibuka.
"Karena banyak HGU itu yang bermasalah. HGU itu banyak yang expired, habis masa berlakunya, tapi perusahaan masih bisa beroperasi. Nah, data informasi terkait HGU itu tidak juga dibuka sehingga banyak sekali ketidakpastian hukum yang dialami masyarakat yang berkonflik dengan HGU yang expired ini," jelas Dewi.
"Misalnya padahal di lapangan itu sudah menjadi kampung dan desa, tapi menurut hukum itu masih dilekati oleh HGU. Padahal dari banyak proses advokasi masyarakat terkait konflik dengan perkebunan ini, sudah banyak dinyatakan oleh pemerintah sendiri bahwa ini sudah expired. Lah, kalau sudah expired, sebetulnya kekuatan hukum masyarakat itu lebih kuat ketimbang perusahaan," tambahnya.
Selain HGU yang telah kedaluwarsa, HGU yamg masih aktif pun memiliki potensi kasus yang menurut Dewi, seharusnya pemerintah berperan proaktif untuk menertibkannya.
"Di sisi lain, banyak juga HGU aktif, artinya masih berlaku, tapi ditelantarkan secara fisik, atau komoditas yang ditanam tidak sesuai alat hak sesuai peruntukan yang diberikan oleh izin tersebut," ungkap Dewi melanjutkan contoh kasus akibat tidak transparannya data HGU.
"Banyak sekali perkebunan yang haknya penanaman jenis tanaman lain, tapi di lapangan ternyata ditanami sawit. Nah, menurut PP Tanah Terlantar, itu tanah terindikasi terlantar yang harus ditertibkan oleh pemerintah," jelasnya.
Sayangnya, Dewi menilai fungsi PP 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar itu pun kerap jalan di tempat sehingga menghambat penyelesaian konflik, termasuk adanya indikasi korupsi.
"Karena tidak dibukanya HGU [ke publik] itu kita tidak tahu sebenarnya berapa luas yang diberikan, apakah sesuai dengan exsisting di lapangan, karena seperti di Sumatera Selatan, banyak juga yang exsisting di lapangan tidak sesuai. Jadi lebih luas di lapangan," ujar Dewi.
"Lalu, soal pajaknya seperti apa? Apakah perusahaan pemilik konsesi atau HGU ini sudah melaporkan dan menyetorkan pajak sesuai ketentuan Uu Pokok Agraria dan pp 40/96 terkait kewajiban pemegang konsesi?" tambah Dewi.
Oleh sebab itulah, Dewi meyakini data HGU ini tidak bisa lagi dianggap sebagai informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik. Sebab, apabila hal ini terus berlanjut, maka hanya mafia-mafia tanah, ataupun pemilik konsesi skala besar yang akan diuntungkan oleh tidak transparannya informasi data HGU ini.
"Karena dampak-dampak yang diakibatkan oleh tidak transparannya data HGU ke publik itu sudah menimbulkan banyak masalah sosial di lapangan, terutama konflik agraria dan ketimpangan," tambahnya.
"Jadi dalam hal ini kementerian terkait terutama kemen ATR, minimal informasi penting terkait HGU seperti nama pemegangnya, lokasi HGU itu di mana, luasannya, jenis komoditas, letak area HGU itu ada di mana, itu sebaiknya segera dibuka," tutupnya.
Ini Pentingnya Membuka Data HGU ke Publik
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, yang juga ditunjuk sebagai panelis pada Debat Capres II, menjelaskan kepada Bisnis, Senin (25/2/2019) bahwa wacana ini juga harus dimanfaatkan untuk mendorong agar pemerintah secepatnya membuka data Hak Guna Usaha (HGU) kepada publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Andhika Anggoro Wening
Topik
Konten Premium