Kabar24.com, JAKARTA — Penghentian penyelidikan kasus dugaan penistaan agama oleh Sukmawati Soekarnoputri di Badan Reserse Kriminal Polri memunculkan tudingan pelanggaran hak konstitusional pelapor.
Azam, yang melaporkan Sukmawati pada 4 April 2018, tidak dapat menerima alasan polisi menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Bareskrim memberitahukan kepada pelapor bahwa puisi Sukmawati yang dituding bermuatan konten penistaan agama Islam tidak memenuhi unsur pidana.
Tidak puas, Azam kemudian mengajukan permohonan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, majelis hakim menolak gugatan dengan alasan penghentian penyelidikan bukan objek praperadilan sebagaimana ketentuan Pasal 77 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Azam menuding asas legalisme yang menjadi pertimbangan PN Jaksel tidak tepat. Kendati KUHAP secara eksplisit hanya mencantumkan penghentian penyidikan sebagai objek praperadilan, tetapi dia berpandangan penyelidikan merupakan bagian dari penyidikan.
Alasannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) KUHAP, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan kepada penyidik. Dengan demikian, penghentian pemeriksaan harus dalam mekanisme penghentian penyidikan karena keputusan ada di tangan penyidik.
Berbekal dalil tersebut, Azam menilai ada persoalan konstitusionalitas dalam penolakan praperadilan atas penghentian penyelidikan kasus Sukmawati maupun kasus-kasus lainnya. Pasalnya, KUHAP mengandung prinsip-prinsip yang menjamin warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Demi kepastian hukum, dalam Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang frasa ‘penghentian penyidikan’ juga harus dimaknai penghentian penyelidikan,” kata Arvid Martdwisaktyo dalam sidang perbaikan permohonan uji materi KUHAP di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut, Arvid meyakini hak pelapor untuk mengajukan gugatan praperadilan atas penghentian penyelidikan bisa terus terjamin. Dengan demikian, lembaga praperadilan tetap berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik dan penuntut umum.