Kabar24.com, JAKARTA — Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yusril Ihza Mahendra kembali mempertanyakan legitimasi kolom atau kotak kosong sebagai kompetitor kontestan tunggal dalam pemilihan kepala daerah.
Menurut dia, kotak kosong bukan warga negara sebagaimana calon kepala daerah dan wakilnya. Karena itu, sebelum berlaku di pilkada saat ini, kotak kosong tidak menjadi subjek hukum dalam kontestasi pemilihan di Indonesia.
Yusril mencontohkan pada masa Orde Baru, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tatkala diadakan pemilihan setiap periode 5 tahun, Soeharto dan calon wakil presiden tidak memiliki penantang, sehingga langsung terpilih tanpa dipertandingkan dengan kotak kosong.
“Kalau ada satu pasangan calon presiden disahkan secara aklamasi. Tidak dilakukan pemilihan melawan kotak kosong. Pikiran waktu itu kotak kosong bukan subjek hukum, tak punya hak pilih dan dipilih,” ujarnya saat sidang pemeriksaan pendahuluan UU Pilkada di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Meski demikian, dia menghormati pengaturan kotak kosong dalam rezim UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Kotak kosong diakomodasi untuk mewadahi legitimasi kontestan tunggal pilkada sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015.
Pilkada tiga gelombang dari 2015, 2017, dan 2018 menunjukkan fenomena calon kepala daerah tunggal tidak terhindarkan. Namun, preseden unik terjadi tahun lalu ketika kontestan tunggal Pemilihan Wali Kota Makassar 2018 kalah dari kotak kosong.
Pasangan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal hanya mendapatkan 264.245 suara sah, sedangkan kotak kosong dicoblos oleh 300.795 pemilih Makassar. Selisih sebanyak 36.550 suara itu setara dengan 6,46% dari total suara sah.
Munafri-Rachmatika yang diwakili oleh Yusril sebagai kuasa hukum menggugat hasil tersebut ke MK, tetapi terbentur syarat ambang batas selisih 0,5% dari total suara sah. MK menggugurkan gugatan sehingga Pilwalkot Makassar harus diulang pada ‘pemilihan berikutnya’.
Frasa ‘pemilihan berikutnya’ tercantum dalam Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada. Namun, Munafri-Rachmatika berpandangan frasa tersebut seharusnya dimaknai pemilihan ulangan mereka dengan kotak kosong.
Kembali menggandeng Yusril, Munafri-Rachmatika menggugat Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada. Mereka meminta MK memaknai ‘pemilihan berikutnya’ bukan pemilihan baru, sehingga tidak ada pembukaan pendaftaran pasangan calon wali kota dan wakil wali kota anyar.