Kabar24.com, JAKARTA — Reformasi regulasi di Indonesia dinilai sudah mendesak guna menghindari aturan yang tumpang tindih lantaran sering diidentifikasi sebagai faktor penyebab menghambatnya investasi di Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro menekankan pentingnya reformasi regulasi mengingat hal tersebut kerap dikeluhkan banyak pihak baik sisi investor dalam dan luar negeri maupun pemerintah sendiri.
Menurut Bambang, aturan yang tumpah tindih antara pemerintah pusat dan daerah perlu dicarikan solusi. Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi jumlah aturan yang tumpah tindih maupun over regulation.
"Tentunya kami ingin mengajukan solusi yang pada akhirnya bisa meminimalkan potensi konflik regulasi atau over regulation," kata Bambang, dalam Seminar Nasional Agenda Reformasi Regulasi: Menata Fungsi dan Kelembagaan Sistem Peraturan Perundangan Indonesia, Rabu (13/2/2019).
Bambang menyatakan bahwa salah satu komponen vital guna mewujudkan RPJMN Teknokratik 2020-2024 yang tengah disusun adalah regulasi yang tidak mengedepankan ego sektoral, berpihak, atau jalan sendiri-sendiri tanpa konteks. Masalah regulasi juga dipandang bukan hanya dilihat dari aspek hukum teknis.
Berdasarkan catatannya, saat ini ada 22 ribu regulasi di Setkab, sementara di Kemenhumkan ada lebih dari 50 ribu regulasi, sementara di Setneg tercatat 2.450 regulasi.
"Nah dengan reformasi regulasi ini nanti harus jelas database-nya dan siapa yang punya kewenangan untuk memastikan terkait regulasi yang masih berlaku di republik ini, karena kalau beda-beda menyulitkan konsolidasi dari regulasi itu sendiri," ujarnya.
Adapun Kementerian PPN bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tahun lalu telah melakukan Background Study Reformasi Regulasi dengan pendekatan evidence based policy dalam rangka penyusunan RPJMN Teknokratik 2020-2024.
Sejumlah permasalahan mendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia ditemukan di dalam background study tersebut.
Sejumlah masalah tersebut, lanjut Bambang, antara lain pertama sinkronisasi kebijakan dan regulasi pusat dan daerah yang belum optimal. Kedua, absennya monitoring dan evaluasi. Ketiga, perencanaan regulasi yang tidak optimal.
Kemudian keempat, disharmoni dalam penyusunan regulasi, serta kelima lemahnya peran kelembagaan dan minimnya penguatan sistem pendukung.
"Melalui background study, kami rekomendasikan pembentukan lembaga yang fokus pada peraturan perundang-undangan. Hal ini semakin memperkuat rekomendasi kami dalam Strategi Nasional Reformasi Regulasi mengenai restrukturisasi kelembagaan perumus kebijakan dan pembentuk regulasi," ujar dia.
Menurut Bambang, melihat kewenangan regulasi masih tersebar di empat Kementerian/Lembaga dan memiliki potensi disharmoni yang tinggi, maka perlu lembaga pengelola regulasi yang dapat mengintegrasikan dan memperkuat kewenangan Iembaga yang ada.
Lembaga pengelola regulasi tersebut menurutnya akan fokus pada penyusunan dan pembentukan regulasi yang sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional.
Bambang juga mengatakan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang tersebar di banyak instansi masih lemah sehingga tidak ada otoritas kuat yang ada membuat kebijakan dari hasil monitoring dan evaluasi secara menyeluruh dan bukan hanya sekadar per peraturan saja.
Fungsi terpusat harmonisasi atau perencanaan hanya hanya bersifat koordinatif dan fokus pada kewenangan teknis, sehingga apabila ada kendala tidak memiliki otoritas kuat untuk segera menyelesaikannya.
Menurutnya, lembaga pengelola regulasi harus dapat mematikan perencanaan regulasi dan pembangunan sinkron, meredakan ego sektoral dalam pemberlakukan perundang-undangan.
Selain itu, memastikan tidak hiper regulasi dan saling tumpang tindih, sehingga dengan kualitas regulasi yang baik dapat memberikan kepastian hukum dalam pencapaian target pembangunan.
"Regulasi harus efektif, jangan hanya sebagai KPI suatu ukuran tertentu," ujarnya.