Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 Indonesia, masyarakat kurang percaya terhadap aparat penegak hukum.
"Salah satu unsur penilaian di IPK adalah 'World Justice Project' yang saya harap naik dari skor 20 pada 2017, tapi hari ini ternyata tetap 20, berarti tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum kita hanya 20 dari 100," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam peluncuran "Corruption Perceptions Index 2018" di gedung KPK Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Pada acara itu, Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan Corruption Perception Index (CPI) alias Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 naik tipis, yaitu naik satu poin dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018.
IPK Indonesia 2018 mengacu pada sembilan survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 (nol) berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
World Justice Project mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum (rule of law) dan penyalahgunaan kewenangan publik pada eksekutif, yudisial, polisi/militer dan legislatif, katanya.
"Apakah ada yang dibuat pemerintah untuk menegakkan kesejahteran atau perbaikan sistem di lembaga pengadilan kita? Untuk lembaga pengadilan sendiri remunerasi sudah 100 persen sehingga hakim baru bisa menerima Rp9 juta-Rp10 juta per bulan tapi kepolisian dan kejaksaan belum penuh remunerasinya," ujar Laode.
Dengan demikian, selain memperbaki sistem rekrutmen, sarana prasarana yang mencukupi maka gaji perlu juga diperhatikan karena pangkat Kapten di Polri dan Kapten di KPK gajinya beda, tapi bukan itu satu-satunya cara bebas korupsi, namun lebih pada penggajian yang rasional penting, kata dia.
Pekerjaan pemerintah untuk meningkatkan IPK adalah juga terkait dengan PERC, yaitu persepsi korupsi sektor publik yang meliputi pimpinan politik nasional dan lokal, PNS pusat dan daerah, persepsi korupsi pada instatnsi tertentu yaitu kepolisian, pengadilan, bea cukai, pajak, perizinan, pengawasan dan militer.
"Memang hal ini agak berat untuk diperbaiki sehingga pemimpin 2020-2025 nanti harusnya fokus pada peningkatan unsur-unsur yang nilainya masih rendah ini," ungkap Laode.
Rendahnya IPK Indonesia lagi-lagi berasal dari IMD World Competitiveness Yearbook (turun dari 41 poin pada 2017 ke 38 poin pada 2017), dan Varieties of Democracy Project (turun dari 30 poin pada 2017 ke 28 poin pada 2018).
IMD World Competitiveness Yearbook memuat kompenen faktor-faktor kompetitif untuk melakukan bisnis di suatu negara mencakup kinerja perekonomian, efisiensi, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Sedangkan Varieties Democracy Project mencakup tujuh prinsip demokrasi di suatu negara.
Sementara penilaian yang mengalami peningkatan adalah Global Insight Country Risk Ratings (dari 35 poin pada 2017 ke 47 poin pada transkrip 47), dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 poin pada 2017 ke 33 poin pada 2018). Satu hal lain yang disoroti adalah World Justice Project Rule of Law Index yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum tetap rendah, yaitu pada 20 poin atau stagnan seperti pada 2017.
"Saya juga mohon maaf ke rakyat Indonesia karena saat saya, Pak Agus, Bu Basaria, Pak Alex, Pak Saut dilantik, saya yang mengatakan ke Presiden 'Mudah-mudahan karena periode saya dan bapak dilantik sama, IPK kita bisa ke angka 50', tapi Presiden mengatakan apakah hal itu tidak ambisius? Pak Agus lalu mengatakan angka IPK 40-an tapi pengumuman tahun 2016 ternyata 36," tambah Laode.
Ia mengakui KPK juga belum bekerja maksimal dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan Agung.
"KPK bekerja tapi belum maksimal, kepolisian terbatas pelatihan bersama, koordinasi dan supervisi tapi untuk membuat sistem ke depan belum dikerjakan. Dengan pengadilan, KPK bekerja sama dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung termasuk BPKP melakukan tata kelola di masing-masing pengadilan sementara dengan Kejaksaan Agung masih sebatas pelatihan bersama," jelas Laode.