Bisnis.com, JAKARTA - Gerakan separatis provinsi Papua Barat menyampaikan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan untuk menuntut referendum kemerdekaan ke Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet pada Jumat (25/1/2019).
Sebagaimana dilaporkan Reuters, petisi tersebut diterima Bachelet dari Ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM) Benny Wenda yang menyampaikan harapannya supaya PBB mengirim tim pencari fakta ke Papua Barat untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di sana.
"Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan rakyat saya," kata Benny setelah pertemuan di Jenewa sebagaimana diwartakan Reuters, Senin (28/1/2019).
"Saya menyerahkan apa yang saya sebut tulang orang-orang Papua Barat, karena begitu banyak orang telah terbunuh," sambungnya.
Benny mengatakan rakyat Papua Barat tidak memiliki kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat. Satu-satunya cara untuk mengungkap hal itu, ujarnya, adalah melalui petisi yang ditandatangani hampir 75% dari 2,5 juta penduduk Papua Barat.
“Beratnya 40 kg. Ini seperti buku terbesar di dunia," ujar Benny.
Ia juga mengaku telah berbicara dengan Bachelet mengenai situasi di Nduga, di mana menurut pengakuannya 11 orang dan beberapa lainnya telah terbunuh setelah melarikan diri dari kejaran pasukan bersenjata Indonesia. Ia juga mengutarakan sekitar 22.000 orang terlantar dan harus mengungsi karena operasi militer.
Juru bicara militer tingkat provinsi Muhammad Aidi menyebut tuduhan tersebut tak berdasar.
"Dia tidak dapat menunjukkan bukti dari tuduhannya terhadap Indonesia dan militer," kata Aidi, Minggu (27/1/2019).
"Yang membunuh warga sipil tak berdosa adalah OPM," sambungnya.
Bulan lalu anggota sayap militer OPM mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan setidaknya 16 orang yang bekerja pada proyek jalan trans-Papua dan seorang prajurit di daerah Nduga. OPM mengatakan pihaknya memandang pekerja proyek sebagai anggota militer dan korban dalam perang mereka melawan pemerintah.
Gubernur Papua Barat telah menyerukan diakhirinya perburuan terhadap pemberontak dan mengatakan penduduk desa mengalami trauma akibat operasi tersebut. Kendati demikian, militer tetap melanjutkan perburuan di provinsi bekas koloni Belanda yang bergabung dengan Indonesia setelah referendum 1969 ini.