iBisnis.com, JAKARTA - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau agar para penyair lebih responsif terhadap realita zaman, di tengah gegap gempitanya komunukasi masyarata melalui media sosial.
Para penyair bangsa tengah memperingati Hari Puisi Indonesia 2018. Puncak peringatan Hari Puisi digelar Kemarin Sabtu (29/12/2018), di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Lukman mengucapkan selamat dan mengapresiasi tema Hari Puisi Indonesia 2018, yaitu: "Puisi Sebagai Renjana dan Sikap Budaya".
Menurutnya, renjana bermakna gairah yang membuncah untuk memantik kata-kata agar memiliki energi dahsyat bagi kemajuan Indonesia.
Tema ini mencerminkan semangat penyair bangsa untuk lebih kreatif dan inovatif sehingga kerja-kerja puisi tidak terhenti di atas kertas rencana.
"Bersyair di era kekinian bukanlah bergumam dalam kesendirian di tengah keriuhan dan kebisingan tanpa jeda sosial media. Bukan pula sumpah serapah akibat pikiran dan jempol tangan makin terdisrupsi teknologi," ujar Lukman melalui keterangan resminya Minggu (30/12/2018).
Lukman menilai bersyair di zaman banyak orang nyinyir, mestinya adalah refleksi berdialog lewat kata-kata yang menggugah kesadaran dan menjaga kewarasan.
Berpuisi adalah wujud amalan terpuji yang sucikan hati, yang mencegah bangsa digital agar tak binal karena banalnya informasi yang seringkali saling menyakiti.
"Itu artinya, penyair dituntut untuk lebih peduli di masa kini. Peduli berarti harus siap memahami realitas zaman. Penyair semakin dituntut untuk mengasah indranya kian peka menyikapi fakta melalui ungkapan kata," ujarnya.
Sebagai karya sastra, mantan Wakil Ketua MPR ini menilai puisi ibarat oase yang menyegarkan, yang mengantarkan pada kesepahaman setelah setiap mulut sudah lelah beradu kata dari kanal-kanal berbeda.
Sebagai produk budaya, puisi adalah ungkapan jiwa yang mampu membebaskan diri dari belenggu kepengapan wacana. Sebagai olahan bahasa, puisi adalah belanga yang menjodohkan garam di laut dan asam di gunung menjadi pelezat rasa.
"Puisi menjadi pemanis di kala kata-kata biasa hambar terasa. Puisi bukan sekumpulan kalimat hambar yang disusun dari janji-janji manis belaka.
Puisi adalah seni olah kata yang menyatukan kita dalam rasa," kata Lukman.
Lukman juga berharap, penyair Indonesia ikut menyastrakan keragaman sebagai berkah dan anugerah Tuhan, bukan penyebab datangnya bencana. Bahwa kemajemukan adalah nyata dan niscaya.
Puisi juga perlu ikut mendakwahkan bahwa nilai agama menjadi nafas anak bangsa Indonesia. Leluhur bangsa sudah mencontohkan dengan menjadikan nilai-nilai agama sebagai perajut keragaman dan kemajemukan.
"Mari syukuri ini dengan tetap dan terus menjaga budaya berkata-kata, berbahasa, dan bersastra, dengan ruh agama," kata Lukman.
"Lewat kata-kata, mari sama-sama saling mengaktualisasikan agama dalam wadah budaya untuk kemanusiaan kita," tandasnya.