Bisnis.com, JAKARTA - Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian membantah kabar yang menyebutkan bahwa Pemerintah China sengaja mempersulit akses untuk mengetahui kondisi etnis Uighur di Provinsi Xinjiang.
Ia menyebutkan tidak ada usaha menghalang-halangi bagi siapa pun yang ingin mengetahui kondisi di sana.
"Siapa saja bisa ke Xinjiang, tidak ada masalah membatasi. Tahun kemarin saja terdapat sekitar 100 juta wisatawan yang berkunjung ke sana, mereka berasal dari dalam negeri dan luar negeri," kata Dubes Xiao melalui penerjemahnya Li Jibin di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (27/12/2018).
Selain itu, Dubes Xiao memaparkan bahwa pihaknya telah mengundang tokoh Muslim asal Indonesia untuk melihat langsung kondisi di Xinjiang. Salah satunya adalah kunjungan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj pada 2016.
"Bahkan saat ini Duta Besar Indonesia untuk China, Djauhari Oratmangun sedang berkunjung ke Xinjiang," tambah Xiao.
Terkait kehadirannya di PP Muhammadiyah, Dubes Xiao berharap pertemuan dengan para pengurus dapat meluruskan sejumlah pandangan masyarakat Indonesia mengenai isu etnis Uighur di Xinjiang. Ia menilai Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Muslim terbesar di Indonesia memiliki peran yang besar untuk mewujudkan hal tersebut.
"Selain dialog dengan organisasi Muslim, Kedubes China juga terus berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia melalui berbagai media. Kami baru saja menyelesaikan kunjungan ke enam kabupaten dan kota di Jawa Barat, kami banyak berkomunikasi dengan umat Muslim di sana," kata Xiao.
Desakan berbagai lapisan masyarakat Indonesia perihal isu pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang China memang mengemuka dalam beberapa minggu terakhir.
Menanggapi desakan tersebut, beberapa waktu lalu Kedutaan Besar China di Jakarta mengeluarkan pernyataan resmi terkait kondisi etnis Uighur yang mayoritas beragama Islam tersebut.
Dalam tanya jawab yang diunggah di laman resmi kedutaan, China membantah pemberitaan yang menyebut telah terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Adapun dugaan kamp detensi terhadap etnis Uighur yang marak disampaikan, disebut China sebagai pusat pelatihan dan pendidikan vokasi bagi masyarakat yang terpapar paham radikal.