Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan bahwa sebagai sarana rekrutmen calon pemimpin bangsa, parpol telah menjadi salah satu episentrum korupsi di Indonesia.
Menurutnya, tingginya angka korupsi di parpol tidak terlepas dari oligarki politik dan ekonomi berlangsung di tingkat nasional dan lokal.
“Di tingkat lokal, dampak oligarki itu terlihat dengan munculnya bos lokal,” ujarnya Selasa (11/12/2018).
Bos lokal oligarki ini telah membajak demokrasi. Karena itu jangan dibayangkan setelah tahun 1998 Indonesia sudah menikmati kedaulatan rakyat dan kebebasan sipil karena karena ada intervensi oligarki, ujarnya.
“Ketika politik di pemilu sudah di fait accompli dari parpol. Di pilkada, yang penting berikan kontribusi atau berikan rente pada elit politik yang bisa saja berasal dari hasil korupsi," tutur Haris.
Dia menyatakan bahwa akibat dari situasi tersebut pilkada jadi momen panen raya bagi elit dari mahar politik. Kondisi itu diperburuk dengan lemahnya penegakan supremasi hukum yang juga membuat korupsi makin menjadi-jadi. Hal itu menyebabkan demokrasi menjadi stagnan, katanya.
"Dari hasil pilkada serentak rakyat dapat apa? Yang nikmati adalah elit politik," ujarnya. Oleh karena itu Haris menyatakan bangsa ini butuh dukungan kolektif untuk benahi demokrasi. Dia juga menekankan pentingnya membenahi sistem pilkada untuk menghadapi oligarki luar biasa itu.
"Pemimpin politik kita menikmati kondisi ini karena enggak mau kehilangan zona nyaman. Butuh kerja ekstra benahi bangsa ini lagi," katanya.
Sebelumnya Haris menyatakan setuju kalau parpol dibiayai oleh negara sebagimana pernah diusulkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo.
Hanya saja dia menyatakan bahwa pendanaan tersebut tidak dilakukan secara keseluruhan mengingat keterbatasan anggaran belanja negara. Dia berpendapat negara sebaiknya mensubsidi maksimal 40%-50% persen dari kebutuhan parpol.