Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Jumat (9/11/2018) kembali melakukan panggilan pemeriksaan terhadap Presiden Direktur Lippo Cikarang (LPCK), Toto Bartholomeus, terkait dengan kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta di Bekasi.
Toto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi yang diduga KPK berperan sebagai salah satu pihak penerima.
Pada pemeriksaan terakhir Toto Bartholomeus 25 November lalu, Presdir Lippo Cikarang tersebut tidak banyak berkomentar.
Saat itu, Toto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Billy Sindoro, Direktur Operasional Lippo Grup, yang juga merupakan saudara dari pemilik bisnis PT Paramount Enterprise International yang kini juga menjadi tersangka di KPK untuk kasus yang berbeda, Eddy Sindoro.
Belum diketahui secara spesifik materi pemeriksaan KPK terhadap saksi Toto Bartholomeus hari ini. Namun, sejauh ini lembaga antikorupsi tersebut mendalami dugaan suap yang diberikan terkait dengan kepentingan perizinan Meikarta sebagai proyek Lippo group.
Sembilan orang telah ditetapka sebagai tersangka sebagai pihak pemberi suap, yaitu Billy Sindoro, Direktur Operasional PT Lippo Grup; Taryudi, Konsultan Lippo Grup; Fitra Djaja Kusuma, Konsultan Lippo Grup; dan Henry Jasmen, Pegawai Lippo Grup.
Sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi; Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pihak yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Khusus untuk Jamaludin, Sahat MBJ Nahor, Dewi Tisnawati, dan Neneng Rahayu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.