Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah harus membatalkan joint agreement uji coba sistem penempatan satu kanal (one channel) pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi seiring terdapat 19 pekerja migran yang terancam menghadapi hukuman mati.
Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo mengatakan eksekusi hukuman mati yang dilakukan Arab Saudi kepada Tuti Tursilawati tanpa memberikan notifikasi dinilai melanggar kesepakatan uji coba itu.
Dia memperkirakan kasus eksekusi hukuman mati tanpa notifikasi akan kembali berulang. Pasalnya, sejak 2008 hingga kini terdapat 6 pekerja migran yang telah dieksekusi hukuman mati.
Terlebih saat ini juga masih ada 19 pekerja migran di Arab Saudi yang akan dijatuhi hukuman mati.
"Kasusnya kurang lebih sama seperti Tuti, tapi ada juga yang aneh karena dituduh melakukan sihir kepada majikan sehingga dia dikenai sanksi berupa hukuman mati. Kan enggak masuk akal ini. Menurut data kami 19 orang yang akan dijatuhi hukuman mati," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (4/11).
Menurutnya, Arab Saudi tidak memenuhi syarat dan ketentuan tentang perlindungan hak asasi PRT migran sebagaimana yang dipersyaratkan dalam dokumen yang ditandangani Kementerian Tenaga Kerja RI dan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi sehingga joint agreement system one channel tak perlu dilanjutkan.
"Banyak pelanggaran hak asasi manusia di Arab Saudi, terutama hak asasi yang paling dasar atas kehidupan. Arab Saudi banyak yang ditutup-tutupi," katanya.
Pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah diplomasi yang signifikan untuk memprotes Arab Saudi yang tetap tidak berubah terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan pada tata krama diplomasi internasional mengenai Mandatory Consular Notification.
Pemerintah juga diminta melakukan sinkronisasi data pekerja migran antara Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Dengan ada sinkronisasi dan kepastian data akan terpantau berapa banyak jumlah pekerja migran yang bekerja di luar dan jumlah kekerasan yang dialami pekerja.
"Ada ketidaksinkronan data, jumlah pekerja migran dari Indonesia yang akan menjalani hukuman mati sebanyak 19 orang menurut data kami, lalu data dari Kemenaker ada 13 yang akan menjalani hukuman mati," tutur Wahyu.
Pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak meminta pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah dikaji ulang.
"Kehidupan pekerja migran di Timur Tengah sangat rentan. Mereka pada umumnya sukar mengikuti hak-hak pekerja migran sesuai dengan Konvensi PBB dan International Labor Organisation (ILO)," ucapnya.
Media Relations Manager Vera Ismainy Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berpendapat pihaknya mendorong pemerintah melakukan pembenahan sistem pengiriman dan penempatan pekerja migran.
Hal itu dapat dilakukan melalui sistem monitoring para calon majikan atau perusahaan yang akan mempekerjakan para pekerja migran (khususnya asisten rumah tangga) harus melalui sistem monitoring terkait dengan rekam jejaknya.
Dalam hal ini, rekam jejaknya dalam tindakan kriminal, apakah sebelumnya sudah pernah melakukan tindak kriminal, khususnya terhadap pekerja.
Lalu, sistem monitoring juga perlu dilakukan setiap bulan begitu pekerja sudah bekerja ditempat tersebut. Pemerintah bisa pakai basis data e-KTP untuk memperkuat pendataan pekerja migran.
Tujuannya supaya pemerintah bisa mendeteksi potensi masalah secepat mungkin sehingga meminimalisasi kekerasan atau tindak kriminal lainnya.
"Pemerintah bisa melakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke sana sampai pemerintah Arab Saudi bisa juga memperbaiki regulasi pekerja migran," ujarnya.
Pemerintah juga memperkuat sosialisasi soal hak, kewajiban pekerja dan juga hal-hal terkait budaya lokal kepada para pekerja migran.
Secara terpisah, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Luar Negeri (PPTKLN) Soes Hindharno mengatakan pemerintah tetap melakukan uji coba sistem one channel ke Arab Saudi.
"Uji coba sistem ini tidak ada hubungannya dengan hukuman mati pekerja migran. Kami ingin membenahi sistem pengiriman dengan one channel ini. Moratorium ini tetep berjalan untuk pengiriman ke sana," kata Soes.
Apabila hasil dari evaluasi selama 3 bulan sistem one channel ini tak sesuai, maka akan dihentikan dan tak mengirimkan pekerja migran ke Arab Saudi.
Sistem one channel ini nantinya dapat memantau kondisi pekerja migran dan majikan sehingga meminimalisasi kekerasan.
Menurutnya, hukuman mati tak hanya diberikan kepada Indonesia, tetapi juga dikenakan kepada warga Arab Saudi dan negara lainnya yang dianggap terbukti bersalah menghilangkan nyawa orang lain.
Pemerintah juga tengah berupaya menegosiasi pekerja migran yang akan dijatuhi hukuman mati. Pasalnya, masih ada sejumlah pekerja migran yang tengah menghadapi kasus dan akan dijatuhi hukuman mati.
"Kami tengah berupaya untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga korban di Arab agar mau memaafkan dan tak dikenai hukuman mati. Bisa dengan denda yang diminta dan apabila kami bisa penuhi, hukuman mati dicabut," tuturnya.
Saat ini, yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan yakni memperkuat kualitas kompetensi pekerja migran, bahasa, mental, dan juga visa pekerja.
"Kami juga sosialisasikan untuk mengikuti jalur legal pengiriman pekerja migran. Visa harus visa kerja. Mental juga harus kuat. Ini langkah kami meminimalisasi kekerasan dan tak dijatuhi hukuman mati," kata Soes.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid menuturkan yang dilakukan dalam jangka panjang untuk mencegah hukuman mati pekerja migran yakno menyiapkan tenaga kerja yang mengerti soal hukum sehingga tidak terprovokasi untuk melakukan tindak pidana.
Pasalnya, apabila pemerintah menghentikan semua atau tak mengirimkan tenaga kerja justru berdampak banyaknya pekerja ilegal. "Mengingat banyaknya peminat yang ingin bekerja dan meminta. Satu-satunya jalan memperkuat persiapan dalam proses," ucapnya.
Saat ini, jumlah pekerja migran yang sudah diancam hukuman mati masih terdapat enam pekerja migran.
Untuk mencegah hukuman mati pemerintah masih punya satu kesempatan lagi, yaitu dengan cara meloby pihak keluarga yang dibunuh memberikan maaf.
"Enam ini ada yang sudah ketetapan hukum tetap, ada yang belum. Penanganannya juga berbeda-beda. Sesuai dengan hukum pidana di Saudi, selama keluarga korban tidak memaafkan, tidak bisa diampuni dengan intervensi apa pun," tutur Nusron.
Jika pekerja migran tersebut terdaftar, akan mendapatkan santunan dari jaminan kematian. Karena jaminan sosial tidak melihat penyebab kematian.
Enam Pekerja Migran yang dieksekusi hukuman mati di Arab Saudi berdasarkan data Migran Care:
- 11 Januari 2008: Yanti Irianti binti Jono Sukardi asal Cianjur, Jawa Barat, ditembak mati karena tuduhan membunuh dan merampok harta benda majikannya.
- 18 Juni 2011: Ruyati binti Satubi asal Bekasi, Jawa Barat ini dipancung dengan tuduhan membunuh majikannya pada 12 Januari 2010.
- 14 April 2015: Siti Zaenab binti Duhri Rupa dieksekusi dengan cara dipancung karena bersalah karena membunuh istri majikannya pada 1999.
- 16 April 2015: Karni binti Medi Tarsim asal Brebes, Jawa Tengah, dipancung karena tuduhan membunuh seorang anak berusia 4 tahun, Tala Al Syihri, pada 26 September 2012.
- 18 Maret 2018: Muhammad Zaini Misrin Arsad asal Bangkalan, Jawa Timur itu dihukum pancung karena tuduhan membunuh majikannya pada 2004.
- 29 Oktober 2018: Tuti Tursilawati asal Majalengka Jawa Barat dituduh membunuh ayah majikannya, Suud Mulhak Al Utaibi, pada 2010.