Bisnis.com, JAKARTA -- Usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi untuk tersangka Idrus Marham, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menyinggung pertemuannya dengan tiga petinggi perusahaan Badan Usaha Milik Negara.
Eni mengaku pernah bertemu Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir, Direktur Utama PT Pertamina, dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso.
Ketiga petinggi tersebut adalah saksi-saksi yang pernah dipanggil KPK.
"Karena mereka memang mitra saya. Tapi kalau soal melobi, paling enggak kita memang sering ketemu seperti yang sudah saya jelaskan ke penyidik bahwa ada pertemuan dengan Pak Sofyan, Ibu Nicke, Pak Iwan," jelas Eni di KPK, Jakarta (27/9/2018).
Beberapa jam setelah Eni diperiksa, KPK mengeluarkan agenda pemeriksaan saksi untuk Sofyan Basir.
Sofyan rencananya diperiksa untuk tersangka Idrus Marham, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia yang diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Partai Golkar dalam kasus PLTU Riau-1.
"Benar diagendakan pemeriksaan besok Jumat, 28 September 2018 utk tsk IM," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Pemeriksaan kali ini merupakan pemeriksaan ketiga KPK terhadap orang nomor satu PT PLN tersebut.
Sofyan terakhir kali diperiksa KPK pada 7 Agustus 2018 sebagai penjadwalan ulang atas panggilan pemeriksaan pada 31 Juli 2018. Saat itu, seusai pemeriksaan Sofyan Basir mengatakan dirinya tidak menerima aliran dana terkait proyek PLTU Riau-1.
KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI dan Idrus Marham, mantan Menteri Sosial RI yang selama ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Sementara itu, Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd., telah dijadikan terdakwa dalam kasus ini.
Senin (24/9/2018) lalu, KPK melalui Jaksa Penuntut Umum melimpahkan dakwaan dan berkas perkara untuk terdakwa kasus PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo, ke pengadilan.
Sebelumnya, berkas dan tersangka telah dilimpahkan oleh penyidik KPK pada 10 September 2018.
"Selanjutnya kami menunggu jadwal persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk terdakwa pertama di kasus PLTU Riau 1 ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (25/9/2018).
Febri melanjutkan, saat menjadi tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Namun, KPK menyatakan akan mencermati kembali hal tersebut di persidangan terkait dengan keseriusan terdangka.
"Karena syarat penting dapat dikabulkan sebagai JC adalah mengakui perbuatan, membuka peran pihak lain seterang-terangnya. Konsistensi dan sikap kooperatif di sidang juga menjadi perhatian KPK," ucap Febri.
Johannes ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 15 Juli 2018.
KPK mengamankan Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI, di rumah mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang kini menjadi tersangka. Sehari sebelumnya KPK mengamankan Johannes,
Johannes adalah pemegang saham BlackGold Natural Resources Ltd. BlackGold adalah perusahaan energi multinasional yang menerima Letter of Intent (LOI) dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk mendapatkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) proyek PLTU Riau-1.
Selain itu, KPK memberlakukan larangan bepergian ke luar negeri terhadap dua orang lainnya terkait kasus PLTU Riau-1.
Pada 17 September 2018, KPK mencekal pendiri PT Borneo Lumbung Energy, Samin Tan. Satu hari kemudian, pada 18 September 2018, KPK mencekal Neni Afwani, direktur di perusahaan tersebut.
Sejumlah pihak pun telah diperiksa, yakni perusahaan dan anak perusahaan BUMN, perusahaan asing yang masih menjadi bagian atau mengetahui skema kerjasama PLTU Riau 1, Kepala Daerah, tenaga ahli, dan anggota legislatif.
Saat ini KPK masih menggali proses persetujuan atau proses sampai dengan rencana penandatanganan kerja sama dan juga skema kerja sama dalam kasus PLTU Riau-1.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih dan Idrus Marham disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak pemberi, Johanes Budisutrisno didakwa melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.