Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan hasil dari uji materi Pasal 169 huruf n UU Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden hasilnya harus kembali kepada semangat konstitusi, yaitu pembatasan masa jabatan presiden dan wakilnya.
Sebelumnya, Partai Perindo pada Rabu (18/7/2018) melakukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu, tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden, terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun".
Berselang dua hari dari pendaftaran gugatan Partai Perindo tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla diketahui mengajukan diri ke Mahkamah Konstitusi atau MK, sebagai pihak terkait dalam uji materi terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu.
Dalam pengajuan uji materinya, Partai Perindo beralasan bahwa frasa pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu, menghambat partai besutan taipan Hary Tanoesudibjo tersebut untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil Presiden Joko Widodo pada pemilu 2019. Sebabnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.
Pemohon menilai tafsiran frasa "tidak berturut-turut" dalam rumusan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, tidak sejalan dengan Pasal 7 UUD 1945.
Frasa tersebut dianggap secara langsung membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Padahal, menurut pemohon, instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden meskipun telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama, sepanjang tidak berturut-turut.
Oleh karena itu, Perindo meminta MK menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terkait hal Itu Fadli mengatakan upaya tersebut memang masih memungkinkan dan tak masalah secara hukum.
“Tapi menurut saya, hasilnya tentu harus kembali pada semangat konstitusi kita yaitu pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Kalau tidak, nanti orang bisa menawar-nawar, tiga kali, empat kali, nanti seumur hidup lagi seperti dulu [zaman Orde Baru,” ujarnya sesaat setelah acara Indonesia Pacific Parliamentary Partnership yang juga dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (23/7/2018).
Dia pun mencontohkan di negara-negara demokrasi lainnya seperti Amerika Serikat, masa jabatan diatur hanya dua kali. Pembatasan juga berlaku bagi anggota DPR yaitu empat kali.
“Saya kira ini bagian dari semangat untuk adanya proses reformasi. Jadi kita tunggu hasilnya dari Mahkamah Konstitusi terkait hal itu. Seharusnya kita tetap berkomitmen bahwa pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden itu bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka komitmen kita kepada demokrasi,” imbuhnya.
Jika tidak demikian, lanjut dia, adanya ‘negosiasi’ yang tidak sesuai dengan konstitusi, undang-undang, dan semangat reformasi, bangsa ini berjalan ke belakang.