Bisnis.com, BOGOR - Presiden World Bank Jim Yong Kim banyak berinteraksi, menerima informasi dan memberi masukan, ketika diajak Presiden Joko Widodo (Jokowi) blusukan.
Saat berada di SDN 1 Tangkil, Caringin, Kabupaten Bogor, Jokowi menunjukkan apa saja yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ‘stunting’ atau kekerdilan.
Kim berinteraksi dengan para kader Posyandu Kenanga Desa Tangkil. Dia mencoba menu posyandu, hingga melihat aktivas pendidikan anak usia dini (PAUD). Bahkan, Presiden World Bank ini pun ikut membagikan buku yang biasa dibagikan Jokowi saat blusukan.
Dalam konferensi pers, Jokowi mengatakan ingin menunjukkan program pengurangam ‘stunting’ yang telah dilakukan pemerintah dengan pemberian makanan tambahan, kampanye lewat posyandu, dan lainnya.
"Kita harapkan nanti bisa mengurangi stunting," katanya, Rabu (4/7/2018).
Jokowi pun mengungkapkan mengapa Presiden World Bank diajak untuk melihat bagaimana pemerintah mengatasi ‘stunting’.
Baca Juga
Menurutnya, dengan pengalaman World Bank Group di negara-negara lain, lembaga dunia ini dapat berdiskusi dengan Indonesia untuk mencari terobosan menekan kekerdilan dini tersebut.
"Kenapa Presiden Bank Dunia saya ajak, karena mereka punya pengalaman panjang di negara lain. Ini bisa kita diskusikan, mengenai penggunaan teknologi, melibatkan sektor swasta, kemudian melibatkan ormas, yang dengan cara itu, kita harapkan pengurangan stunting bisa kita percepat," tambah Jokowi.
Jim Yong Kim mengapresiasi langkah Presiden Jokowi dalam mengatasi ‘stunting’. Menurutnya, masalah gizi buruk banyak terjadi di negara berkembang, dan memang sangat genting.
"Kalau tidak diatasi sedari dini, anak anak ini tidak bisa berkontribusi bagi pembangunan negara," katanya.
Kim juga menyebut tidak banyak negara yang berhasil mengatasi ‘stunting’, karena perlu komitmen politik yang kuat dari pemimpin.
"Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, menjadi negara berkembang terbesar yang memiliki komitmen tersebut," tambahnya.
Terkait masalah ‘stunting’, World Bank akan menyalurkan pinjaman total senilai US$650 juta untuk mengatasi masalah ini di Indonesia.