Kabar24.com, JAKARTA – Sementara penduduk Malaysia masih merayakan keluarnya koalisi Barisan Nasional untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, para investor asing ternyata tidak demikian.
Aliran masuk modal asing untuk bursa saham lokal Malaysia sebanyak US$937,8 juta tersapu karena pasar khawatir akankah kebijakan partai koalisi baru di bawah PM Mahathir Mohammad dapat meneruskan pertumbuhan ekonomi.
Per Senin (21/5/2018), aliran modal keluar telah mencapai US$21,2 juta, setelah investor asing menjual sejumlah US$949 juta saham dalam 11 hari berturut-turut.
Adapun, Malaysia sempat mencatatkan rekor aliran modal masuk hingga US$2,4 miliar pada 2017. Benchmark Indeks FTSE Bursa Malaysia KLCI pun jatuh 0,5% pada Selasa (22/5/2018).
Sementara pasar masih tetap tenang dengan perolehan 0,4% pekan lalu setelah hasil Pemilu diumumkan, investor asing justru kurang optimistis tentang outlook Negeri Jiran.
“Saya tidak terlalu terkejut. Para pelaku pasar lokal lebih antusias daripada [investor] asing,” kata Sat Duhra, Pengelola Keuangan di Janus Henderson Investors, Singapura, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (22/5/2018).
Menurutnya Duhra, investor asing tidak ikut antusias untuk karakter politik yang sama dengan risiko ketidakdisiplinan fiskal di Malaysia.
Sementara itu, pendanaan lokal dan investor ritel telah mengucurkan uang dalam bentuk saham dengan membeli aset ekuitas sebesar 2,5 miliar ringgit ketika investor asing keluar.
Indeks FTSE Bursa Malaysia KLCI diperdagangkan di level 16,1 kali lebih dari pendapatan langsung selama 12 bulan, dibandingkan dengan rata-rata lima tahun di level 15,8 kali.
Bagi investor Asia Pasifik seperti Duhra, dia menilai, Pemilu di Indonesia dan India jauh lebih menarik dengan adanya terobosan. Dia menjelaskan, di Indonesia, Jokowi menjadi presiden pertama yang tidak memiliki latar militer selama beberapa tahun. Sementara di India, PM Narendra Modi merupakan perdana menteri pertama yang bukan anggota dinasti Nehru dan Ghandi selama beberapa tahun.
Kendati demikian, Duhra teap melihat prospek di perbankan Malaysia, ditopang oleh meningkatnya harga minyak yang menguntungkan satu-satunya negara pengekspor minyak di kawasan Asia Tenggara.
Pemulihan ringgit juga dipandangnya dapat meningkatkan margin dan outlook non-performing loans dari perbankan Malaysia.
Adapun di pekan pertama Mahathir menjabat, dia telah berupaya untuk memenuhi janji kampanyenya. Dia telah menghapus pajak barang dan jasa secara efektif tanpa mengumumkan pengukuran spesifik untuk menutupi kerugiannya.
Hal itu disambut dengan peringatan dari perusahaan rating kredit, Moody’s Investor Service, yang memberikan label ‘kredit negatif’ atas langkah tersebut.
Duhra menyatakan, Malaysia masih jauh dari pemilu transformasional.
“Jika mengecualikan 1MDB, yang memang membuat masyarakat antusias, selebihnya tidak ada lagi,” ujar Duhra.
Adapun kini, mantan PM Malaysia Najib Razak masih berada di tengah-tengah investigasi kasus korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di kantor lembaga anti korupsi Malaysia.
Najib akan diminta menjelaskan tentang aliran dana senilai US$10,6 juta yang masuk ke rekening pribadinya. Adapun jumlah tersebut hanya sebagian kecil dari korupsi miliaran dolar AS yang terjadi di BUMN Malaysia itu.
Sebelumnya, Najib telah menyangkal keterlibatannya sejak skandal penyalahgunaan dana negara itu muncul pada 2015. Dia mengklaim dana sebesar US$681 juta yang ada di rekeningnya adalah donasi dari anggota kerajaan Arab Saudi.
Untuk menyelidiki kasus korupsi ini, pemerintahan Malaysia yang baru membentuk tim investigasi khusus yang terdiri dari lembaga anti korupsi, polisi, dan bank sentral. Selain di Malaysia, kasus ini juga diselidiki di setidaknya enam negara, di antaranya AS, Swiss, Singapura, dan Kanada.