Bisnis.com, JAKARTA — Afrika Selatan menjadi salah satu negara penting diplomasi Indonesia di Benua Afrika. Hubungan kerja sama diplomatik yang telah berlangsung lama dan kedekatan Indonesia dengan negara-negara Afrika menjadi salah satu perekat diplomasi.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hubungan diplomatik ini, Bisnis mewawancarai Salman al Farisi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Afrika Selatan Merangkap Republik Botswana, Kerajaan Swaziland, dan Kerajaan Lesotho. Berikut kutipannya.
Apa visi besar Anda sebagai Duta Besar RI untuk Afrika Selatan?
Saya ingin mentransformasikan hubungan politik, sosial, dan budaya yang sudah kita miliki dengan Afrika Selatan [Afsel] untuk menjadi sesuatu yang lebih tangible melalui diplomasi ekonomi.
Kita sudah berinteraksi dengan Afsel lebih dari 1 abad yang lalu dengan hadirnya Syekh Yusuf [pejuang dari Gowa, Sulawesi Selatan] di sana. Itu koneksi yang luar biasa sebetulnya dan harus kita garap.
Terdapat lebih dari 1,2 juta masyarakat yang mereka sebut sebagai masyarakat Melayu yang bisa menjadi lem perekat bagi Indonesia dan Afsel. Diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1965 itu memberi inspirasi yang luar biasa pada perjuangan Afsel pada saat itu.
Kemudian dilanjutkan dengan hubungan yang sangat baik antara mendiang Nelson Mandela dan presiden-presiden Indonesia. Berbagai hal ini menjadi tabungan atau investasi politik dan budaya kita yang sangat kuat.
Akan sayang sekali kalau relasai ini tidak dimanfaatkan untuk menjadi yang lebih produktif melalui kerja sama ekonomi, dan di sektor lainnya.
Bagaimana strategi Anda agar hubungan itu bisa menghasilkan kerja sama yang konkret?
Strateginya tentu saja dari sektor bisnisnya. Saya ingin berusaha door to door.
Kendati kita sudah begitu dekat dari level elite, mungkin pada level business to business belum terlalu kuat.
Sekarang menjadi kesempatan baik bagi kita untuk memperkenalkan diri agar bisa lebih dekat dengan mereka.
Berbagai macam media promosi juga sangat penting, termasuk bagaimana membangun konektivitas yang erat.
Sekarang belum ada penerbangan langsung Indonesia ke Afrika Selatan, tetapi potensi-potensi kerja sama konektivitas terus dilakukan. Belum lama ini kami bertemu dengan Lion Air Group untuk membahas peluang kerja sama tersebut.
Apa saja potensi bisnis yang bisa digarap pebisnis Indonesia di Afsel?
Dari sisi ekonomi, kita menguasai 30% pangsa pasar palm oil di Afsel, sedangkan Malaysia sekitar 21%. Ini tentu saja bisa lebih kita tingkatkan, dan akan terus kita dorong.
Kemudian, potensi bisnis otomotif dan perhiasan juga cukup besar. Saya kira kompetisinya cukup tinggi buat produk-produk kita bisa masuk ke sana.
Namun, itu jangan selalu menjadi hambatan. Justru itu menjadi tantangan yang baik ketika situasi perekonomian Afsel yang sedang slowing down bisa kita isi dengan kesempatan kerja sama yang baik.
Pada kegiatan IAF [Indonesia Afrika Forum] yang belum lama digelar di Bali, juga ada ketertarikan beberapa pengusaha Afsel terhadap kemungkinan perusahaan Indonesia bisa mengerjakan proyek-proyek di sektor properti, khususnya low cost housing. Apa saja harapan yang disampaikan pengusaha Indonesia kepada Anda? Saya sudah mengadakan pertemuan dengan beberapa pelaku usaha.
Mereka sudah menyampaikan masukan dan harapan. Mereka juga punya kemauan untuk lebih masuk ke pasar Afrika. Negara-negara di Afrika akan punya internal free trade untuk Benua Afrika. Kalau itu terjadi, ada 1,9 miliar penduduk yang menjadi kekuatan masyarakat Afrika yang luar biasa. Jangan sampai peluang itu terlewatkan oleh kita.
Salah satu hambatan besar yang kita hadapi sekarang ialah masih tingginya tarif bea masuk ke Afsel sekitar 20%—40%, dan beberapa negara yang tergabung dalam Southern African Customs Union [SACU].Jadi, kita harus berani mengatur strategi yang berbeda.
Bagaimana Anda melihat potensi kerja sama perdagangan kedua negara?
Saya kira cukup prospektif, tinggal bagaimana kita lebih aktif menggali dan memperkenalkan diri, serta menjual secara efektif produk-produk kita. Mungkin mereka belum terlalu mengenal kita, karena memang interaksi di antara kedua negara masih terbatas.
Selama 5 tahun berturut-turut, kita masih surplus hampir US$450 juta. Meskipun ada kecenderungan menurun, kita masih surplus.
Sektor apa saja yang dinilai menarik untuk peluang investasi?
Jangan lagi kita membayangkan investasi semata-mata dari negara lain ke kita.
Mengapa kita tidak mempertimbangkan untuk investasi juga ke sana, sehingga bisa menarik adanya supply chain dari produk-produk Indonesia ke sana?
Untuk potensi investasi kita di sana, bisa saja dari refi nery kelapa sawit kita. Dengan begitu, pada saat kita memasukkan minyak kelapa sawit curah, tarifnya bisa lebih ringan dibandingkan dengan minyak yang sudah dalam kemasan. Bisa saja nanti proses pemurnian dan pengemasannya di sana. Pada akhirnya kita juga bisa membangun logistik di Afsel yang pasarnya juga bisa ke negara-negara di sekitarnya.
Selain itu, peluang kerja sama investasi juga bisa datang dari sektor properti, perhotelan, dan pariwisata. Afsel teknologinya juga cukup kuat pada gasifi kasi batu bara, yang juga bisa digunakan oleh Indonesia.
Anda juga menjadi Dubes RI untuk Kerjaan Lesotho, Kerajaan Swaziland, dan Republik Botswana, bagaimana strategi Anda untuk mempererat hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut?
Negara-negara tersebut memiliki konsesional tarif dengan beberapa negara. Tidak hanya dengan Afrika, tetapi justru dengan negara-negara di Amerika dan Eropa. Kalau kita berinvestasi di sana, akhirnya produk-produk yang kita proses memiliki country of origin di negara-negara itu, sehingga akan berdampak pada pengembangan market kita.
Oleh sebab itu, penting bagi mindset kita bahwa investasi tidak harus datang ke dalam saja, tetapi penting juga investasi kita bawa keluar. Ini dampaknya bisa kepada peningkatan ekspor dan lapangan kerja.
Pengembangan pasar ke negara-negara tersebut juga sejalan dengan arahan pemerintah untuk membuka pasar baru dan menggerakkan perdagangan.
Apa tugas khusus yang disampaikan presiden ataupun Kemenlu kepada Anda? Apakah diplomasi ekonomi menjadi hal yang paling ditekankan?
Iya, bahkan Presiden Jokowi mengatakan diplomasi itu harus bisa menghasilkan uang, bukan menghambur-hamburkan uang. Itu mandat yang sangat jelas dan konkret yang harus kita jalankan. Memang tidak mudah, tetapi saya orang yang selalu optimistis.
Bagaimana Anda memandang hubungan kedua negara ke depannya?
Saya kira prospektif karena di tingkat elite kedua negara saling menghormati. Presiden Afsel yang baru [Cyril Ramaphosa] menyatakan ingin agar Presiden Jokowi berkunjung ke Afsel.
Yang menjadi tantangan saat ini ialah bagaimana memperkuat infrastruktur hubungan ekonomi melalui perjanjian-perjanjian yang bisa saling menguntungkan, termasuk Trade Agreement (PTA). Sebelum free trade agreement, mungkin bisa dari PTA dulu.
Tantangan lainnya ialah meyakinkan pengusaha kita untuk memasarkan produkproduk ke Afsel.
Apa saja perjanjian-perjanjian yang akan Anda matangkan?
Kami sedang matangkan rencana PTA. Ini tidak hanya dengan Afsel, tetapi juga dengan lima negara yang tergabung dalam SACU yaitu Botswana, Swaziland, Namibia, Lesotho, dan Afsel. Terkait dengan perjanjian PTA, kami sudah pernah ajukan dengan Afsel pada 2012, tetapi karena Afsel menjadi bagian dari SACU, maka memang sebaiknya dilakukan dalam konteks Indonesia dan SACU.
Itu yang akan terus kita dorong. Dengan direalisasikannya perjanjian tersebut, peluang pasarnya bisa lebih besar. Tidak hanya dengan Afsel tetapi juga dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam SACU.
Pertumbuhan penduduk di Afrika juga cepat meningkat. Pada 2030, 60% komposisi penduduk di Afrika adalah generasi muda yang produktif, tetapi juga konsumtif. Inilah peluang pasar yang jangan sampai disia-siakan.
Bagaimana strategi Anda untuk mempromosikan potensi pariwisata Indonesia?
Kita harus bisa menciptakan paketpaket wisata yang menarik. Oleh karena itu, kedekatan dengan agen perjalanan dan wisata itu menjadi sangat penting.
Kita juga bisa saja kerja sama dengan maskapai, meski saat ini belum ada penerbangan langsung dari Afsel ke Indonesia. Kemenlu juga mendorong Diplomasi zaman now.
Bagaimana strategi Anda untuk menerapkan arahan tersebut? Adakah kesulitan dalam menerapkannya?
Diplomasi zaman now itu sebenarnya digaungkan agar para duta besar lebih melek teknologi. Sekarang hampir semua duta besar sudah menjadi bagian dari media sosial, tetapi penggunaan media sosial itu harus digunakan untuk menyampaikan pesan yang positif. Diplomat zaman now juga tidak terlalu birokratik seperti yang duludulu.
Saya juga sampaikan kepada teman-teman di kementerian untuk menganggap kedubes sebagai business entity.
Jadi, pemerintah tidak perlu menggunakan jasa orang lain untuk melihat potensi bisnis di suatu negara, tetapi bisa memanfaatkan kami sebagai perwakilan.
*)Artikel ini dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Kamis 17 Mei 2018