Kabar24.com, JAKARTA — Lembaga peradilan harus memiliki kesamaan pandangan bahwa hukum terhadap koruptor harus dilakukan secara luar biasa karena korupsi bersifat masif dan merusak.
Hal itu diungkapkan Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengenai tren vonis terdakwa koruptor 2017 yang secara umum tergolong rendah.
Dia mengatakan seluruh jajaran pengadilan harus memiliki kesamaan pandangan bahwa hukuman koruptor harus luar biasa karena korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Hal ini harus diwujudkan secara konkret dalam bentuk terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung atau institusi Ketua Mahkamah Agung agar hakim menjatuhkan vonis maksimal terhadap pelaku. Begitu pula halnya dengan Jaksa Penuntut Umum agar menjatuhkan tuntutan maksimal terhadap pelaku korupsi,” tuturnya, Jumat (4/5/2018).
Di sisi lain, tuturnya, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM juga memiliki peran besar dalam menentukan berhak atau tidaknya seorang napi korupsi menerima remisi maupun pembebasan bersyarat.
Kejaksaan dan KPK juga mestinya memaksimalisasi bentuk pidana tambahan uang pengganti yang harus dibayarkan oleh terdakwa. Jika seluruh kerugian keuangan negara dinikmati oleh terdakwa, harus ada penghitungan yang jelas mengenai aliran dana tersebut, dan dengan demikian penggunaan TPPU semakin relevan digunakan, agar tidak ada uang negara yang dirugikan, tidak berhasil dikembalikan, baik melalui mekanisme pidana tambahan uang pengganti, maupun UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Khusus Kejaksaan, ICW melihat perlu melakukan penuntutan untuk pencabutan hak politik dari terdakwa, terutama yang berlatar belakang politisi, agar penjeraan dapat dicapai, mengingat terdakwa dengan latar belakang anggota legislatif, cukup banyak.
Hakim agar selalu mempertimbangkan penggunaan UU TPPU dan pencabutan hak politik terdakwa korupsi - sebagaimana yang dituntut oleh jaksa - dalam menjatuhkan putusan dalam tindak pidana korupsi.
Presiden perlu mendorong Kejaksaan untuk melakukan reformasi menyeluruh di tubuh Kejaksaan. Hal ini penting karena reformasi Kejaksaan juga memecahkan persoalan profesionalisme Penuntut Umum Kejaksaan guna meningkatkan kemampuan jaksa dalam melakukan penuntutan.
Presiden beserta jajarannya harus mengoptimalisasi fungsi pengawasan internal terkait banyaknya pelaku korupsi berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil.
Penguatan lembaga-lembaga pengawas eksternal (misalnya fungsi lembaga-lembaga audit) perlu diperkuat guna memperkuat fungsi pengawasan. Selain itu, perlu mendorong Kejaksaan dan KPK menerapkan pidana korporasi dalam menuntut perkara-perkara korupsi karena evaluasi Semester I/2017 menyebutkan ada dua korporasi yang dijatuhkan hukuman karena terlibat korupsi.
Selain itu, untuk mekanisme pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin yang diduga menjadi penyebab tingginya pelaku korupsi yang berlatar belakang swasta dan pegawai negeri tingkat daerah, harus ada perbaikan mekanisme yang meminimalisasi pertemuan tatap muka antar kedua pihak tersebut, dan dapat mengidentifikasi potensi penyelewengan dalam sistem.
Sepanjang tahun 2017, ICW melakukan pemantauan terhadap perkara yang telah divonis yaitu sebanyak 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa,1 dengan total pidana denda sebesar Rp110 miliar dan total pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp1,446 triliun.
Terdapat peningkatan jumlah perkara dan terdakwa dari waktu-waktu sebelumnya, karena pada tahun 2017, sumber data diperoleh bukan saja dari Direktori Putusan Mahkamah Agung, tapi juga dari SIPP masing-masing Pengadilan Negeri.
Berdasarkan keseluruhan hasil pemantauan, rata-rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa tipikor di tiap tingkat pengadilan hanya 2 tahun 2 bulan penjara.