Bisnis.com, JAKARTA – Permohonan pembatalan norma ambang batas masuk parlemen kembali mentah di Mahkamah Konstitusi.
Ambang batas masuk parlemen atau parliamentary threshold (PT) telah diadopsi sejak UU No. 10/2008 dan UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Legislatif. Norma serupa kembali diakomodasi dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Bedanya, PT dalam UU 10/2008 sebesar 2,5% suara sah nasional, lalu bertambah menjadi 3,5% dalam UU 8/2012, dan teranyar menjadi 4% dalam UU 7/2017. Dari 2009-2014, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima empat kali permohonan pengujian norma PT. Semuanya mental karena lembaga penafsir UUD 1945 tersebut menganggap PT merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembuat UU.
Namun, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) sebagai partai peserta Pileg 2019 tetap berusaha agar PT ditiadakan. Partai nomor 6 di surat suara tersebut lantas menggugat Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 yang mengatur ambang batas masuk parlemen sebesar 4%.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan permohonan Garuda tidak berbeda secara substansi dengan empat permohonan terdahulu. MK tetap berpendapat PT sebagai kebijakan hukum terbuka dalam rangka penyederhanaan partai politik.
Lagipula, Garuda menggunakan batu uji pasal UUD 1945 yang sama dengan gugatan-gugatan sebelumnya. Di tambah lagi, ujar mantan Ketua MK ini, tidak ada alasan konstitusionalitas baru yang diajukan pemohon.
Baca Juga
“Dengan demikian, permohonan pemohon adalah nebis in idem [dengan putusan terdahulu],” kata Arief saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 20/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Nebis in idem adalah istilah hukum yang berarti terhadap kasus yang sama tidak boleh diadili dua kali.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Garuda Ahmad Ridha Sabana menilai norma PT sebesar 4% berpotensi menghilangkan hak partainya untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, imbuh dia, Garuda berpotensi meraup suara lebih dari 4% di daerah pemilihan (dapil) tertentu. Namun, jika akumulasi suara dari seluruh dapil nasional tidak mencapai kriteria PT maka hasil di dapil tertentu menjadi sia-sia.
Di sisi lain, Ridha berpendapat penyederhanaan parpol tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Seharusnya, kata dia, yang perlu diperberat adalah syarat awal parpol untuk menjadi peserta pemilu.
“Namun, ketika parpol sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu maka dia berhak berkontestasi dalam setiap tingkatan legislatif,” ujarnya.