Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menginstruksikan adanya percepatan pelayanan kependudukan di Indonesia.
Hal itu dikemukakannya dalam rapat terbatas mengenai penataan administrasi kependudukan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sambutannya, Jokowi menekankan pentingnya reformasi sistem pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia.
"Hal ini penting diperhatikan bersama karena pelayanan administrasi kependudukan sangat bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat," katanya di Kantor Kepresidenan, Rabu (4/4/2018).
Kepemilikan KTP dan Kartu Keluarga (KK) diakui sangat dibutuhkan karena digunakan sebagai syarat dalam mengakses setiap layanan publik, misalnya pemasangan listrik, membuka rekening di bank, layanan catatan sipil, hingga mengurus paspor.
"Mungkin dibuat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang langsung dibatasi waktunya selesai, e-KTP berapa hari atau syukur bisa berapa jam. Kalau ada peraturan menterinya, pelayanan e-KTP akan lebih cepat," tambah Jokowi.
Selain dari segi regulasi, Kepala Negara juga meminta kementerian terkait melakukan upaya jemput bola, terutama di kawasan yang terkendala secara geografis sehingga mempermudah masyarakat.
Baca Juga
"Kedua, saya juga minta agar sistem identitas tunggal bisa segera terwujud yang ditopang data dan informasi administrasi kependudukan yang ada dan integrasi," ujarnya.
Adapun putusan MK yang dimaksud adalah mengenai uji materi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Pada November 2017, MK telah mengabulkan gugatan yang meminta agar penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama pada KK dan KTP sesuai kepercayaan masing-masing.
Gugatan itu diajukan oleh Nggay Mehang Tana yang merupakan warga Sumba Timur, NTT, Pagar Demanra Sirait dari Toba Samosir, Sumatra Utara (Sumut), Arnol Purba dari Medan Belawan, Sumut, dan Carlim dari Brebes, Jawa Tengah.
Dalam putusannya, MK menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.
MK juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.