Kabar24.com, JAKARTA - Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta telah menggeledah dan menyita seluruh aset milik PT Tansri Madjid Energi (TME).
Aset yang disita berupa tanah, kendaraan hingga izin usaha pertambangan (IUP) terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan cadangan batubara oleh anak usaha PLN yaitu PT PLN Batubara dan PT TME di Muara Enim, Palembang.
Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Sarjono Turin mengungkapkan kejaksaan telah menyita sekitar 200 dokumen, 6 unit kendaraan roda empat, 5 unit kendaraan roda dua, tanah hingga IUP dari PT TME yang berlokasi di Jalan Diponegoro 68- 70, Menteng, Jakarta Pusat.
Penggeledahan dan penyitaan sebagai upaya hukum tim penyidik untuk memperkuat sangkaan kepada tersangka Khairil Wahyuni yang merupakan mantan Direktur Utama PT PLN Batubara dan Direktur Utama PT TME Kokos Leo Liem.
"Sebenarnya, tindak pidana korupsinya sudah terang-benderang, tapi kita masih perkuat lagi dengan fakta hukum lain agar dapat dapat dibuktikan di pengadilan, " tuturnya, Senin (19/3/2018).
Dia memastikan kejaksaan tidak akan berhenti pada dua orang tersangka pada perkara tersebut, namun akan mengembangkan perkara yang telah merugikan negara sebesar Rp477 miliar tersebut dan memburu tersangka lainnya yang mengacu pada fakta hukum di lapangan.
"Tentang siapa-siapa dan dari mana, kita lihat saja hasil penyidilan dan fakta di persidangan nanti," katanya.
Baca Juga
Seperti diketahui, proyek pengadaan batu bara untuk PT PLN (Persero) itu dilaksanakan oleh pihak swasta dari PT TME milik seorang pengusaha berinisial KK. Proyek dengan nilai mencapai Rp1,4 triliun itu dilaksanakan setelah PT TME memenangkan tender dari anak usaha PT PLN yaitu PT PLN Batu Bara.
Namun, selama proses pengerjaannya, PT TME tidak menjalankan proyek tersebut dengan baik, karena kualitas dan kuantitas batu bata tidak sesuai dengan kontrak perjanjian antara PT TME dengan PT PB (BUMN), setelah adanya hasil kajian dari perusahaan konsultan asing.
Padahal, PT PB sudah mengeluarkan uang sebanyak Rp477 miliar, yang diberi dalam dua tahap, yakni Rp30 miliar pada 2011, dan sisanya selesai dilunasi pada 2012. Uang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga terjadi kerugian negara sebesar uang yang dikucurkan Rp477 miliar.
Dana tersebut dikucurkan karena adanya dokumen yang disertakan dari analis report dalam kontrak yang dibuat PT Sucofindo. Belakangan baru diketahui bahwa analis report PT Sucofindo tersebut dimanipulasi. Tim penyelidik juga mencurigai pengucuran uang tanpa mengacu pada azas kepatutan. Padahal, kontrak tidak berlanjut dan tidak ada produknya.