Kabar24.com, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra merasa partainya masih dicurigai hendak mendirikan negara Islam andaikan tetap eksis sebagai peserta pemilihan umum.
“Kok takut betul sama PBB? Apakah khawatir kami ini menjadi kelompok Islam radikal yang mengancam NKRI dan menghancurkan Pancasila?” kata Yusril usai pertemuan mediasi PBB dengan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Yusril menegaskan PBB mustahil mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila. Justru, kata dia, PBB mengawinkan nilai-nilai nasionalisme dan keislaman sejak berdiri pascareformasi sampai saat ini.
“Kami pertahankan semua bangsa dan negara ini,” kata mantan Menteri Sekretaris Negara ini.
Yusril mengungkapkan keresahannya itu karena akhir pekan lalu Komisi Pemilihan Umum menggugurkan PBB sebagai peserta Pemilu 2019.
Partai berbasis Islam itu dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) keanggotaan di Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat.
Baca Juga
Saat verifikasi faktual, KPU Manokwari Selatan meminta PBB menghadirkan anggota dari distrik-distrik secara merata.
Permintaan itu dipenuhi PBB setempat beberapa hari kemudian dengan mendatangkan 6 orang anggotanya, tetapi kendala malah terjadi pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
PBB akhirnya dinyatakan KPU Manokwari Selatan TMS dan dijadikan dasar putusan KPU di Jakarta. PBB pun menggugat KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dalam mediasi di Kantor Bawaslu, Jumat (23/2/2018) pagi, PBB memberikan 2 penawaran kepada KPU guna mengakhiri sengketa.
Pertama, KPU diminta melakukan verifikasi faktual ulang di Manokwari Selatan. Kedua, KPU diminta kembali kepada putusan KPU Papua Barat yang menyatakan PBB lolos di 75% kabupaten/kota provinsi itu.
Sayangnya, permintaan PBB tersebut ditolak KPU sehingga proses mediasi menjadi buntu.
Dalam mediasi, KPU mengklaim mekanisme pengguguran PBB di Manokwari Selatan sesuai aturan. Alhasil, kedua belah pihak bakal melanjutkan sengketa di sidang adjudikasi.
Yusril menyesalkan sikap KPU yang menolak tawaran PBB. Padahal, menurut mantan Menteri Kehakiman ini, kompromi untuk menyelesaikan sengketa lebih elegan dan bermartabat ketimbang harus berhadapan dalam sidang adjudikasi.
“Tahun 1945 saja ada satu kelompok menawarkan negara sekuler, satu pihak mau bikin negara Islam. Tapi ada kompromi sehingga Indonesia menjadi negara Pancasila. Masak KPU tak mau kompromi?” ujarnya.
Sengketa PBB dan KPU tidak hanya terjadi kali ini. Hal serupa pernah terjadi saat verifikasi administrasi lalu dan menjelang Pemilu 2014. Kedua perselisihan itu berhasil dimenangkan oleh PBB.
“Kami akan lawan KPU dengan segala kemampuan dan kekuatan. Ketika saya melawan, tidak akan tanggung-tanggung. Saya lawan sampai mati!” ucap pria kelahiran Pulau Belitung ini.