Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

60 TAHUN HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG: Dari Pampasan Perang Hingga Proyek MRT

Berbagai gelombang, ombak dan riak sudah dirasakan Indonesia dan Jepang dalam upaya menjalin persahabatan atas dasar saling menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua kiri), didampingi Duta Besar Indonesia untuk Jepang Arifin Tasrif (kiri) melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kanan) di Tokyo, Jepang, Senin (5/6)./Antara-Akbar Nugroho Gumay
Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua kiri), didampingi Duta Besar Indonesia untuk Jepang Arifin Tasrif (kiri) melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kanan) di Tokyo, Jepang, Senin (5/6)./Antara-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA—Tahun ini hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang memasuki usia yang ke-60. Sebuah periode relasi yang ‘lebih dari cukup’ untuk mengevaluasi kerja sama di segala bidang yang sudah terjalin selama enam dekade terakhir.

Berbagai gelombang, ombak dan riak sudah dirasakan kedua negara dalam upaya menjalin persahabatan atas dasar saling menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing.

Kedepannya tentu saja hubungan kedua negara besar di Asia ini harus semakin kokoh dan dinamis guna menjawab tantangan global yang terlihat makin kompleks.

Hubungan bilateral Indonesia-Jepang telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun ini. Dalam situsnya, Kementerian Luar Negeri mencatat bahwa nilai investasi Jepang di Indonesia pada 2016 mencapai US$5,4 miliar, sementara hingga kuartal ketiga 2017, nilai investasi Negeri Sakura telah tembus US$4 miliar. 

Selain itu perayaan ke-60 hubungan diplomatik ini dipandang sebagai momen yang penting dan tepat untuk mendorong hubungan bilateral, termasuk di sektor infrastruktur, yang juga menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dan PM Shinzo Abe di sela-sela ASEAN–Related Summit Meetings di Manila, Filipina, November 2017.

Jalan masih panjang untuk mengisi ruang-ruang persahabatan di segala bidang yang bermanfaat bagi kemajuan ekonomi kedua negara.

Berbicara soal relasi terkini Jakarta-Tokyo, pandangan masyakat bisa jadi langsung tertuju ke proyek Mass Rapid Transit Jakarta. Dana besar dan teknologi tinggi Jepang berperan penting menggerakkan proyek angkutan massal yang penyelesaiannya tengah dikebut itu.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun, orang Indonesia seperti tak terpisahkan lagi dengan produk asal Negeri Sakura. Melekat kuat.

Catatan kritis Masashi Nishihara dalam bukunya berjudul Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang: Hubungan Indonesia – Jepang, 1951-1966 membuat kita makin paham bahwa hubungan bilateral Indonesia-Jepang tak boleh kandas di tengah jalan, karena dirintis dengan susah payah dalam suasana pasca Perang Dunia II dan politik global ketika itu yang masih mencekam.

Bahkan proses negosiasi saat itu nyaris pupus karena begitu sulitnya mencari titik temu dari nilai pampasan perang yang diajukan Indonesia, kesanggupan Jepang, maupun skema pembayarannya.

Bagi saya, buku berjudul asli The Japanese & Sukarno’s Indonesia buah pikir peraih gelar doktor di University of Michigan yang cukup lama pula sebagai profesor di Akademi Pertahanan Jepang itu, sangat menarik. 

Bukan saja karena ada kisah Sukarno dan sang istri Jepangnya, Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, tetapi yang tak kalah asyik adalah lika-liku dan diplomasi panjang melelahkan kedua negara untuk menuntaskan masalah pampasan perang.

Setelah berunding pertama kali pada 1951, kedua negara baru mengingkat janji perdamaian tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 20 Januari 1958 dan berlanjut ke hubungan diplomatik pada 15 April di tahun yang sama.  

Nilai awal pampasan US$17,5 miliar bergulir dalam pergumulan politik dan diplomasi yang panas di Jakarta dan Tokyo. Kabinet kedua pemerintahan bertumbangan. Diplomat, menteri hingga pelobi datang silih berganti. Konstelasi politik global saat itu ikut mewarnai  arah angin diplomasi dan komitmen penyelesaiannya.

Untung saja ‘perang’ hanya berkobar di meja perundingan. Bisa dimengerti. Pasalnya, baik Hinomaru maupun Merah Putih saat itu perlu dana besar untuk membangun kembali perekonomiannya pascaperang. Namun disadari pula bahwa kedua bangsa Asia itu sejatinya saling membutuhkan.

Alhasil, konsesi Indonesia yang diturunkan drastis menjadi US$223 juta saja berikut tambahan US$400 juta dari Jepang dalam bentuk ‘kerja sama ekonomi’ menjadi pijakan sejarah bagi keharmonisan relasi Indonesia-Jepang sampai saat ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper