Bisnis.com, JAKARTA – Sepanjang 2017, penggunaan bahasa yang diskriminatif dalam pemberitaan mengenai perempuan di media massa menjadi salah satu aduan yang paling banyak diterima oleh Dewan Pers.
Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan, penyebab tingginya aduan tersebut karena banyak pekerja media yang cenderung menelan bulat-bulat pendapat narasumber ataupun pendapat umum tentang suatu hal, termasuk pula penggunaan bahasanya.
Akibatnya, sikap kritis terhadap bahasa yang digunakan dalam penulisan berita juga semakin pudar.
Ahmad Djauhar menjelaskan, permasalahan semacam ini tidak perlu terjadi jika wartawan membaca dan memahami Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
KEJ mengatur dengan jelas agar wartawan tidak langsung menyalahkan atau menyudutkan seseorang.
“Tidak boleh menyudutkan apa lagi menyalahkan. Yang berhak memutuskan bersalah atau tidaknya itu kan pengadilan, bukan wartawan,” tegasnya.
Sementara itu, untuk aspek penggunaan bahasa yang lebih rinci dikembalikan kepada kebijakan setiap media.
Menurutnya, seyogianya setiap manajemen media massa memiliki gaya bahasa sendiri yang tetap berpedoman pada KEJ.
“Asal berpedoman kepada KEJ, Insya Allah tidak akan ada persoalan seperti itu,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Indriyati Suparno menambahkan, media massa sebaiknya menggunakan bahasa yang lebih peka gender.
Dia mengusulkan agar manajemen media massa dapat menggunakan thesaurus yang disusun oleh Komnas Perempuan ketimbang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dia menilai, KBBI berkonotasi kepada dominasi pria.
“KBBI kan sebenarnya juga sangat male dominated ya, baik dari cara pandanganya maupun penyusunnya. Media massa dapat menggunakan thesaurus yang disusun oleh Komnas [Perempuan] sebagai alternatif,” katanya.