Bisnis.com, JAKARTA – Saat ini, kata ‘Pelakor’ atau perebut lelaki orang kerap digunakan dalam perbincangan sehari-hari, khususnya yang menyangkut kasus perselingkuhan. Akronim yang juga kerap digunakan oleh media massa tersebut ternyata masuk dalam salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan melalui bahasa.
Akronim itu menempatkan perempuan dalam posisi pelaku dari kasus tersebut.
Padahal dalam sebuah hubungan asmara, baik yang berselingkuh atau tidak, posisi pria dan wanita memiliki posisi sejajar sebagai pelaku.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Indriyati Suparno menyatakan, penggunaan bahasa oleh media massa adalah cerminan dari masyarakatnya.
Dalam hal ini, dia menyebutkan ketika berurusan dengan norma, moralitas dan seksualitas, perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan.
“Perempuan yang dianggap harus selalu menjaga moralitas,” katanya.
Indriyati menilai bahwa sejauh ini media gagal menyajikan kasus perselingkuhan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, media justru berperan pada sisi yang melulu mengoreksi moralitas perempuan.
Menurutnya, nilai-nilai patriarki selama ini terlalu mendominasi cara pandang media. Salah satu penyebab perkara ini adalah faktor kepemilikan media yang didominasi oleh laki-laki.
“Media ini sesuatu yang didominasi laki-laki, pemilik media juga mayoritas laki-laki. Maka tak heran perempuan masih ditampilkan sebagai komoditas. Sulit untuk menampilkan perempuan dengan cara yang berlawanan dengan pandangan masyarakat,” jelasnya.
Padahal, menilik sejarah di negeri ini, tambah Indriyati, berbagai kebudayaan di Tanah Air telah menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia.
Misalnya dalam penggunaan kata ‘empu’ dalam kata ‘perempuan’ yang sejatinya menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai pemegang ilmu pengetahuan.
Sayangnya, masyarakat cenderung mereduksi nilai ilmu pengetahuan yang lekat dengan perempuan. Beberapa kegiatan yang berhubungan dengan perempuan justru dicap sebagai kegiatan domestik yang tidak bernilai ilmu pengetahuan.
“Contohnya, dahulu memasak dianggap [sebagai] sesuatu yang luhur dan mulia, [dan] menempatkan perempuan sebagai pemegang ilmu pengetahuan. Namun, sekarang hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernilai baik secara ekonomi, sosial, maupun politik di masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Indriyati mengatakan, untuk melawan hal itu maka manajemen media harus berani menyajikan wacana tandingan terhadap cara pandang yang mendiskreditkan posisi perempuan. Hal ini bisa dimulai dengan meninggalkan penggunaan kata-kata yang melemahkan posisi perempuan.
“Kata ‘menggagahi’ misalnya, itu kan sangat tidak tepat untuk digunakan oleh media. Kata itu hanya menunjukkan dominasi pria terhadap perempuan,” katanya.