Bisnis.com, JAKARTA – Media massa dan bahasa berperan kuat untuk membangun realitas. Bahasa dapat dijadikan sebagai alat perjuangan untuk meruntuhkan beragam dominasi dalam tatanan sosial. Salah satunya adalah dominasi pria terhadap perempuan melalui bahasa.
Saat ini, bahasa yang digunakan media malah cenderung merefleksikan atau turut melanggengkan nilai-nilai dominasi pria terhadap perempuan.
Ahli bahasa Indonesia Universitas Padjadjaran Lina Meilinawati Rahayu mengatakan, dapat dipastikan bahwa penggunaan bahasa dalam konteks seksualitas tidak pernah memuat ekspresi bahasa yang adil antara perempuan dan laki-laki.
“Hal itu menunjukkan bahwa budaya kita melihatnya [masih] seperti itu,” katanya.
Beberapa waktu lalu, kata ‘pelakor’ menjadi heboh dan kembali digunakan oleh media massa saat memberitakan kasus perselingkuhan yang melibatkan selebritas di Tanah Air.
Persoalan yang sifatnya pribadi justru menjadi hal yang menarik bagi khalayak, lengkap dengan nilai-nilai patriarki yang dilestarikan lewat bahasa.
Baca Juga
Menurutnya, dengan peranan besar untuk membangun opini publik, manajemen media seharusnya dapat menggunakan bahasa dengan lebih baik. “Seharusnya, dalam pemberitaan perselingkuhan misalnya, media massa harus adil dalam mengoreksi moral perempuan dan laki-laki,” tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan aspek kebahasaan secara umum, tambahnya, masyarakat harus mulai menggunakan bahasa yang lebih peka gender dan tidak mereduksi makna perempuan.
Salah satunya mulai menggunakan kata ‘perempuan’ ketimbang ‘wanita’.
Lina menilai, kata perempuan yang berasal dari kata per-empu-an menaikkan posisi kaum hawa.
“Empu adalah orang yang dihormati dan dipandang sebagai orang yang berpengetahuan. Sementara itu, wanita adaptasi dari bonita yang artinya makhluk yang cantik. Kata wanita lebih mengacu kepada atribusi fisik yang dirasa mereduksi posisi perempuan dan justru dikonotasikan menjadi tubuh saja,” katanya.