Kabar24.com, JAKARTA—Beberapa kasus mahar politik menyeruak ke ruang publik dalam proses pemilu kepala daerah serentak 2018. Indonesia Corruption Watch menduga mahar politik dijadikan modal partai untuk mengarungi pemilu 2019.
Peneliti Divisi Korups Politik ICW Almas Syafrina mengatakan ada kekhawatiran ajang pemilu kepala daerah serentak 2018 dijadikan pencarian dana ilegal untuk kampanye tahun depan oleh partai politik.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 melarang adanya penerimaan imbalan. Jika partai politik terbukti meminta mahar maka tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya. Adapun calon yang memberikan mahar politik tidak bisa mengikuti pemilihan.
“Rentang waktu pilkada serentak 2018 dengan pileg dan pilpres 2019 sangat sempit, tidak ada waktu lagi bagi parpol menghimpun dana untuk pemilu,” ujarnya, di kantor ICW, Selasa (16/1/2018).
Dari data yang dihimpun ICW beberapa kasus mahar politik yang terungkap jelang pilkada serentak 2018 adalah La Nyalla Mattalitti yang mengaku diminta mahar sebesar Rp40 miliar oleh Partai Gerindra untuk dicalonkan dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur.
Di Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang merupakan Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat dimintai Rp10 miliar oleh oknum Partai Golkar. Partai Hanura pun terpecah akibat ketua umum partai tersebut, Oesman Sapta Odang, dituding beberapa fungsionarisnya meminta mahar poitik.
Baca Juga
Di Cirebon. Brigjen (pol) Siswandi gagal maju dalam pemilhan kepala daerah. Pangkal masalahnya sama, PKS meminta mahar politik.
Dia menjabarkan ICW menghimpun 215 kasus korupsi kepala daerah sepanjang 2010-2017.
Dari hasil temuan pihaknya, banyak dari kasus korupsi tersebut dikarenakan adanya kontrak politik terkait dana yang keluar saat kontestasi berlangsung. Sehingga bisa disimpulkan, praktik mahar politik mendorong korupsi lebih besar ke depannya.