Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Skema Pengadaan Obat Program JKN Perlu Ditata Ulang

Skema pengadaan dan distribusi obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN dinilai perlu ditata ulang.
Ilustrasi/jibi
Ilustrasi/jibi

Kabar24.com, JAKARTA – Skema pengadaan dan distribusi obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN dinilai perlu ditata ulang.

Hal tersebut, menurut Luthfi Mardiansyah, Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS),mendesak dilakukan mengingat berbagai permasalahan timbul selama dijalankannya program JKN. Mulai kualitas pelayanan relatif rendah, kekosongan stok obat tertentu, perlakuan diskriminatif, ketidaktransparan penentuan harga obat, ketidakmerataan layanan, hingga masalah defisit keuangan yang terus membengkak.

Dia menjelaskan, permasalahan seputar pengadaan dan distribusi obat dalam program JKN menimbulkan persepsi publik bahwa kualitas program itu rendah.

"Banyak muncul keluhan di masyarakat tentang kekosongan pasokan obat tertentu karena perencanaan yang kurang baik dari program JKN,” katanya dalam siaran pers, Rabu (8/11).

Selain itu, sambungnya, defisit pendanaan di program JKN membuat pembayaran klaim di rumah sakit jadi mundur, dan dampak lanjutannya pembayaran ke distributor obat menjadi tertunggak. “Ini seperti lingkaran setan yang perlu diputus agar dapat diperbaiki secara menyeluruh,” paparnya.

Menurut Dono Widiatmoko, Tim Market Access International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), secara umum sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program JKN antara lain penghitungan kebutuhan obat tidak akurat. Dampaknya, industri farmasi kesulitan untuk menghitung harga dan menyiapkan produksi. “Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah tidak transparan dan nilainya terlalu rendah. Di sisi lain, disinyalir ada perusahaan yang sengaja menurunkan harga obatnya agar menang tender namun kemudian tidak dapat memenuhi kebutuhan program JKN,” katanya.

Dono juga menyoroti perencanaan proses lelang yang tidak terencana baik. Idealnya lelang obat dilaksanakan jauh hari sebelum masa tayang e-catalog dimulai. Pada tahun lalu saja proses lelang hingga kontrak pengadaan obat di program JKN mundur dari Januari hingga April, ini menyebabkan kekosongan stok obat di rumah sakit.

“Kekosongan pasokan obat dapat sewaktu-waktu terjadi di daerah karena pemenang tendernya hanya satu perusahaan. Di sisi lain, jadwal tender juga tidak tepat waktu,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, tidak semua obat dalam formularium nasional (Fornas) tercantum dalam e-catalog. Akses pada e-katalog/e-purchasing juga terbatas pada RS milik pemerintah. Obat-obatan untuk JKN dijual kembali oleh RS/Satker untuk pasien reguler. “Itu tantangan-tantangan yang perlu kita tata ulang secara bersama-sama,” ungkapnya.

Masih banyak tantangan yang dihadapi saat ini termasuk potensi gagal lelang karena beberapa perusahaan disinyalir memasukkan harga penawaran murah hanya untuk memenangkan lelang dan gagal supply dikemudian hari. Selain itu rencana kebutuhan obat (RKO) kurang akurat dan penetapan harga perkiraan sendiri (HPS) oleh pemerintah yang dinilai tidak transparan.  

“Masih banyak Faskes yang membeli dengan cara manual. Karenanya, perlu sinergi antara pemerintah dan industri, dan jangan hanya menyediakan obat dengan harga murah” tambah Dono.

Parulian Simandjuntak, Direktur Eksekutif IPMG, mengungkapkan bahwa skema pemenang tunggal dalam proses pengadaan lelang sistem e-catalogue dapat menimbulkan permasalahan kelangkaan obat. “Kami menyarankan dibuatnya multiple winner, guna memastikan ketersediaan obat di program JKN,” kata Parulian.

Dia juga menilai bujet pendanaan pemerintah yang terbatas juga menimbulkan permasalahan tersendiri ke dunia bisnis. Karena bujet terbatas, pemerintah hendak mengefisienkan harga obat sehingga akhirnya pembayaran ke rumah sakit dan distributor obat menjadi tertunggak.

"Perlu disadari obat dengan harga murah tidak selalu menjadi solusinya, apalagi kalau pasokannya tidak ada. Padahal masih ada obat lain dengan harga yang berbeda sedikit, tapi penyembuhannya lebih cepat,” katanya.

Menurut Parulian, perlu dihadirkan pilihan pengobatan yang lebih baik kepada pasien, khususnya obat-obatan baru menggantikan obat-obatan terdahulu. Selain itu, perlu terus-menerus dilakukan riset dan pengembangan dalam penemuan teknologi pengobatan penyakit baru.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper