Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi memutuskan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berhak mencantumkan keyakinan mereka dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.
Berdasarkan UU No. 24/2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, KK dan KTP mencantumkan agama sebagai salah satu elemen data penduduk. Norma yang diatur dengan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) itu kini mencakup juga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Selain itu, MK juga menghapus Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan. Dua pasal ini mengatur pengosongan elemen agama bagi para penghayat kepercayaan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa empat pasal tersebut bertentangan dengan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum seperti tertuang dalam UUD 1945. Kendati UU Administrasi Kependudukan memberikan jaminan bahwa penganut kepercayaan tetap dilayani tetapi pada praktiknya para pemohon mengalami diskriminatif.
Hakim MK Saldi Isra menegaskan hak menganut agama dan kepercayaan merupakan hak yang melekat pada setiap orang atau masuk rumpun hak-hak alamiah. Sebaliknya, UU Administrasi Kependudukan mengkonstruksikan hak tersebut secara implisit sebagai pemberian negara.
“Sebagai negara hukum membawa konsekuensi adanya tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa hak asasi manusia benar-benar ternikmati dalam praktik atau kenyataan sehari-hari,” ujar Saldi.
Meski demikian, Majelis Hakim MK tidak serta-merta memutuskan seluruh kepercayaan dicantumkan dalam kartu identitas kependudukan. Mengingat jumlah penghayat kepercayaan sangat banyak dan beragam maka kolom agama di KK dan KTP mereka hanya tercantum ‘penghayat kepercayaan’ tanpa merinci kepercayaan yang dianut.
Permohonan uji materi UU Administrasi Kependudukan teregistrasi di MK dengan nomor 97/PUU-XIV/2016. Gugatan ini diajukan oleh empat orang penganut kepercayaan masing-masing Komunitas Marapu, Parmalim, Ugamo Bangsa Batak, dan Sapto Darmo.
Arnol Purba, salah seorang pemohon, mengapresiasi keputusan MK karena telah menjamin kesetaraan warga negara. Penganut Ugamo Bangsa Batak ini mengaku telah memperjuangkan pencantuman keyakinan mereka di KTP sejak 20 tahun lalu.
“Sekarang di KTP ditulis ‘penganut kepercayaan’ secara umum, mau Sapto Darmo, Parlamin, Ugamo Bangsa Batak, dan lain-lain. Jadi ada enam agama resmi ditambah kepercayaan,” kata dia usai sidang putusan.
Arnol mengharapkan penghapusan diskiminasi identitas kependudukan dapat ditindaklanjuti dalam bidang kehidupan lainnya. Pasalnya, menurut dia, formulir pendaftaran tenaga kerja di situs daring tidak ada pencantuman kolom penganut kepercayaan.
Judianto Simanjuntak, kuasa hukum pemohon dari Tim Pembela Kewarganegaraan, menimpali bahwa kini perlakuan yang sama harus dirasakan dalam mengakses pelayanan publik. Apapun agama dan kepercayaannya tidak lagi mendapatkan diskriminasi.