Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia diminta lebih aktif dalam pertemuan ketiga Open-Ended Intergovernmental Working Group on TNCs And Other Bussines Enterprises with Respect and Human Right di Jenewa yang digelar pada 23—27 Oktober 2017.
“Pertemuan ini sangat penting bagi dunia, terlebih Indonesia, di mana aktivitas bisnis khususnya perusahaan transnasional menujukkan relasi yang sangat jelas dengan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Budi Afandi, Koordinator Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ), dalam siaran pers yang dilansir Senin (23/10/2017).
Lebih lanjut Budi menjelaskan pertemuan ketiga ini sangat fundamental karena akan membicrakan substani dari treaty. “Meski proses ini masih panjang, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah Indoneia unuk aktif sedari awal,” tegasnya.
Pembukaan acara dilakukan di kantor komisi hak asasi manusia di PBB dan diikuti oleh perwakilan sejumlah negara serta organisasi masyarakat sipil dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, dalam beberapa pertemuan dengan CSO, Kementerian Luar Negeri Indoneia mengatakan Indonesia mendukung dibentuknya binding treaty yang dimaksud, tetapi berusaha untuk realistis, karena tidak ingin mengganggu investasi dan perdagangan.
Budi melanjutkan, dalam konteks bisnis, Pemerintah Indonesia terus membicarakan pentingnya investasi dan perdaaganga global.
“Kami melihat bagaimana pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk kepentingan dan kemudahan investasi dan perdagangan. Namun, apakah mereka membicarakan soal hak asasi manusia dalam kaitannya dengan itu? Tidak sama sekali,” kata Budi.
Padahal, kata Budi, data-data menunjukkan banyaknya pelanggaran HAM yang berkaitan dengan bisnis. Sementara itu, korban atau komunitas terdampak tidak memiliki ruang yang menjamin hak mereka untuk mendapatkan pemulihan atau dapat membawa persoalan ke meja hukum.
“Sejauh ini, berbagai ruang hanya memberikan solusi yang tidak mengikat, atau tidak cukup kuat untuk menekan perusahaan dalam semua rantai produksinya. Karenanya binding treaty ini sangat penting untuk menegaskan bahwa segala kebijakan bisnis berada di bawah kepentingan hak asasi manusia, harus ada analisas hak asasi manusia dan mekanisme complain yang memberi ruang bagi korban terdampak untuk menempuh jalur hukum,” pungkas Budi.