Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta pembahasan amendemen UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terburu-buru.
Hal ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.85/PUU-XIV/2016, rabu lalu. MK memutus harus ada perubahan pada definisi pihak lain pada pasal 22, 23, 24 dan definisi penyelidikan pada pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2).
Ketua Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantono mengatakan DPR selaku inisiator amendemen mempunyai pekerjaan rumah untuk mengkaji kembali pasal-pasal yang menjadi putusan MK.
Perwakilan pengusaha ini menilai pengkajian mendalam sangat diperlukan supaya semua pihak memperoleh kepastian.
“Jadi, DPR dan pemerintah bisa duduk bersama dalam menggodok UU dan tidak perlu tergesa-gesa,” katanya kepada Bisnis, Minggu (24/9/2017).
Pasalnya, Apindo menilai putusan MK mengenai pihak lain ini juga masih bisa disalahtafsirkan. Pihak lain yang dimaknai MK sebagai pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain masih bersifat karet.
Oleh karena itu, perlu aturan tersendiri yang khusus mengatur hal tersebut. Pasalnya, pihak yang dapat diperiksa di Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus benar-benar terlibat dalam persekongkolan tender. Hal ini harus dibuktikan secara komprehensif.
Jenis Kelamin KPPU
Sutrisno menyampaikan putusan MK terkait pasal 36 dan 41 telah mempertegas jenis kelamin KPPU.
Kelembagaan KPPU, menurut dia, memang murni bersifat administratif dalam ranah eksekutif. Sehingga, kewenangan tambahan yang menjadikan KPPU berkuasa layaknya pengadilan tidaklah diperlukan.
“Sekarang jelas sudah, KPPU bukan lembaga pengadilan dan tidak bisa menjalankan fungsi kehakiman," tuturnya.
Dengan begitu, proses peradilan harus dimulai dari pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan negeri. PN berkewajiban menguji perkara secara tuntas. Sehingga, pembatasan waktu pengujian putusan KPPU di PN selama 30 hari harus direvisi.