Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU Persaingan Usaha yang dimohonkan oleh PT Bandung Raya Indan Lestari.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) malah memberikan kepastian hukum dalam penegakan persaingan usaha melalui UU No. 5/1999.
“Mahkamah Konstitusi benar-benar telah mempertimbangkan secara matang mengenai pentingnya penerapan frasa 'pihak lain' dalam penegakan hukum persaingan usaha," katanya usai sidang putusan, Rabu (20/9/2017).
Definisi pihak lain oleh MK dinilai dapat menjawab dan mengimbangi kompleksitas modus persekongkolan. Pasalnya, aksi persekongkolan tidak hanya terjadi di antara pelaku usaha akan tetapi juga pihak yang terkait dengan pelaku usaha.
Syarkawi juga sependapat dengan Mahkamah Konstitusi terkait frasa penyelidikan dan pemeriksaan dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf i, serta pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.
KPPU setuju jika frasa penyelidikan ditafsirkan sebagai pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan alih-alih penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
KPPU berharap putusan Mahkamah Konstitusi dapat semakin memperkuat upaya penegakan hukum persaingan usaha serta kelembagaan KPPU.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan uji materi (Judicial review) atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek monopoli adan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dalam Putusan Nomor Register Perkara 85/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penggunaan frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU No 5 Tahun 1999 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “dan/atau Pihak yang Terkait dengan Pelaku Usaha Lain”.
Sedangkan frasa “penyelidikan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf i, serta pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan”.