Bisnis.com, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materil Undang-Undang No. 5/1999 yang diajukan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari.
Artinya, beberapa pasal di UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini tidak mengikat.
Adapun ada enam pasal yang diajukan judicial review oleh PT Bandung Raya Indah Lestari (pemohon) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keenan pasal itu yakni Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5).
Adapun Pasal 23, dan 24 yaitu mengatur larangan bagi para pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Pemohon mendalilkan frasa pihak lain yang multitafsir. Pihak lain seharusnya hanya dimaknai dengan pelaku usaha lain sesuai Pasal 1 angka 8 UU No.5/1999.
Selanjutnya, Pasal 36, 41 dan 44 berkaitan dengan kewenangan penyelidikan dan pemeriksaan oleh KPPU. Pemohon berdalil kewenangan KPPU tidak jelas apakah berfungsi administratif atau pidana.
Ketua hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Putusan ini dibuat setelah melalui berbagai pertimbangan, pemeriksaan saksi dan pemanggilan para pihak.
"Dalam pokok perkara, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," katanya membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/9/2017).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai frasa 'pihak lain' dalam pasal 22, 23 dan 24 terlalu luas maknanya. Oleh sebab itu, MK dapat memberikan konstitusionalnya terhadap makna dari pihak lain agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kendati begitu, majelis kurang setuju dengan dalil pemohon yang meminta definisi pihak lain adalah pelaku usaha lain.
Menurut hakim, pihak lain tidak bisa hanya sebatas pelaku usaha lain. Pasalnya, persekongkolan memiliki beraneka ragam jenis dan rupa karena meningkatnya persaingan dan pesatnya teknologi.
Oleh sebab itu, frasa pihak lain dimaknai sebagai pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain.
"Menyatakan frasa pihak lain dalam Pasal 22, 23 dan 24 UU No. 5/1999 bertentangan dengan UUD 1946 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain "pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain","ujarnya.
Namun, MK meminta agar KPPU sangat berhati-hati dalam menentukan pihak yang terkait dengan pelaku usaha. KPPU harus cukup bukti dalam menghukum pihak ketiga tersebut.
Hakim konstitusi juga mengabulkan uji materi Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) tentang tata laksana dan kewenangan penyelidikan.
Hakim berpendapat KPPU hanya bisa melalukan penyidikan yang bersifat mengumpulkan bukti untuk pemeriksaan. Tugas selain itu adalah domain dari ranah pidana.
Hakim konstitusi menegaskan KPPU adalah lembaga eksekutif yang kewenangannya bersifat administratif. Adapun penegakan hukum dari KPPU seharusnya tidak bersifat pro justisia.
"Menyatakan frasa penyelidikan dalam Pasal Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan UUD 1946 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain "pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan," imbuh hakim konstitusi.
Hakim konstitusi memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Hakim menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.