Kabar24.com, JAKARTA - Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK merinci ada 11 poin pelanggaran yang dilakukan lembaga anti rasuah tersebut. Oleh karena itu, anggota Dewan akan memanggil pimpinan KPK untuk mengklarifikasi hal tersebut.
Sejumlah temuan tersebut dibeberkan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap KPK dalam konfrensi pers di gedung parlemen, Senin (21/8/2017). Ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan temuan tersebut bersifat sementara dan belum mencapai kesimpulan.
“Temuan tersebut akan kami kaji sebelum dilakukan klarifikasi dengan KPK,” ujarnya.
Anggota Pansus dari Partai Golkar Mukhamad Misbakhun membacakan 11 pelanggaran KPK. Pertama, dari aspek kelembagaan KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.
Kedua, kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Ketiga, KPK yang dibentuk bukan atas mandat konstitusi akan tetapi UU No. 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya dalam hal ini DPR secara terbuka dan terukur.
Baca Juga
Keempat, KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas azas-azas yang meliputi azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.
Kelima, dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan esksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum lain. KPK lebih mengedepankan praktek penmdakan melalui pemberitaan atau opini daripada pencegahan.
Keenam, dalam fungsi supervisi KPK cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan instansi kepolisian dan kejaksaan.
Ketujuh, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.
Ditemukan praktik tekanan, ancaman, bujukan dan janji-janji bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Selain itu, pencabutan BAP dipersidangan, kesaksian palsu yang direkayasa, hal-hal itu terjadi dan didapatkan Pansus.
Kedelapan, terkait dengan aparatur KPK berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian, dan UU Kejaksaan.
Kesembilan, terkait dengan penggunaan anggaran berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu.
Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait kinerja KPK. Ke depan BPK juga perlu mengaudit sejumlah barang-barang sitaan (BASAN) dan barang-barang rampasan (BARAN). Pasalnya, dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan pansus di lima kantor tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan.
Kesepuluh, terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, pansus memberi dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM. Oleh karena itu, Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap instansi kepolisian dan kejaksaan.
Kesebelas, mengenai sejumlah kasus terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan Niko Panji Tirtayasa ke Bareskrim, kasus penyiraman Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian Miryam Haryani, pertemuan Komisi III DPR dengan penyidik KPK, hal itu harus ditindaklanjuti Komisi III DPR. Dengan segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik.
Menurut Misbakhun, temuan itu berdasarkan hasil aduan, penerimaan aspirasi, kunjungan ke BPK, Mabes Polri, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu temuan tersebut pun berdasarkan pemeriksaan saksi di bawah sumpah serta pakar, sejumlah pihak terkait hingga kunjungan lapangan.
“Oleh karenanya Komisi III DPR dapat segera mengundang KPK dan Polri untuk fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik berkelanjutan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Wakil Ketua pansus Masinton Pasaribu mengatakan berikutnya pihaknya akan memanggil KPK untuk proses klarifikasi.
“Berikutnya kami masih melakukan pendalaman laporan yang masuk. Dan kami akan melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada KPKdengan memanggil KPK,” ujarnya.