Bisnis.com, JAKARTA - Berita acara pemeriksaan Miryam S Haryani saat menjadi saksi korupsi KTP elektronik dibocorkan oleh panitera di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus pemberian keterangan tidak benar dengan terdakwa Miryam S. Haryani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (21/8/2017). Saksi Anton Taufik, seorang pengacara mengatakan bahwa dia diminta oleh Markus Nari, politis Partai Golkar yang disebut turut menerima aliran yang KTP elektronik untuk mencarikan bukti acara pemeriksaan (BAP).
Anton kemudian mengontak salah seorang panitera di pengadilan dan mendapatkan salinan BAP Miryam S. Haryani dengan memberikan imbalan uang Rp2 juta. Dia kemudian menyerahkan satu salinan kepada Markus Nari dan salinan lainnya kemudian diperintahkan untuk diserahkan ke Elza Syarif, pengacara yg oleh Markus Nari disebut sebagai penasehat hukum Miryam S. Haryani. Pada kopian BAP tersebut ada beberapa pernyataan yang ditandai menggunkana spidol karena berkaitan dengan keterangan aliran dana ke Markus Nari.
“Pada 17 Maret 2017, saya dihubungi Pak Markus untuk mengantarkan BAP ke kantor Elza Syarif. Kebetulan dulu saya juga pernah magang di kantor Elza Syarif. Setelah menyerahkan, saya langsung pamit dan di situ ada Ibu Miryam,” ujarnya saat memberikan kesaksian di persidangan.
Setelah kasus dugaan tekanan terhadap Miryam merebak, Anton Taufik kemudian mengungsikan keluarganya ke Makassar. Di kota itu, dia kemudian dihubungi oleh Aga Khan melalui orang suruhannya menggunakan fasilitas telepon video. Saat itu orang suruhan Aga meminta dia mengatakan kepada penyidik bahwa kedatangan ke kantor Elza Syarif karena diminta oleh staf Miryam yang bernama Akbar.
“Faktanya saya tidak kenal ini Akbar, yang suruh saya Markus Nari ada bukti sms semua. Disuruh ubah cerita saya tidak mau faktanya seperti ini. Saya juga pernah ditelpon oleh orang Aga Khan dia mengaku pengacara Miryam dan mengatakan mau minta uang ke Pak Markus untuk saya tapi saya tidak mau karena namanya akan saya sebut,” tuturnya.
Anton juga menjelaskan bahwa dia pernah diberikan uang masing- masing US$10.000 dan Sing$10.000 sebagai jasa pemantauan 2 persidangan kasus korupsi KTP elektronik. Uang tersebut telah dia kembalikan kepada penyidik KPK saat diperiksa sebagai saksi dengan tersangka Miryam.
Saksi lainnya yang turut dihadirkan, Elza Syarif, mengatakan bahwa Miryam dua kali datang ke kantornya untuk berkonsultasi mengenai permasalahannya. Saat itu, Miryam mengatakan bahwa dia merasa dia dikucilkan oleh rekan-rekan di DPR karena menguraikan aliran uang terkait korupsi KTP elektronik.
“Dia merasa dianggap sebagai pengkhianat. Saya kemudian mengatakan kamu harus menyelamatkan diri kamu sendiri. Orang lain bersalah itu karena dosa mereka bukan karena kamu,” ujarnya.
Dalam dakwaan, penuntut umum Kresno Anto Wibowo membeberkan bahwa ketika dihadirkan sebagai saksi dalam kasus pengadaan KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, petinggi Kementerian Dalam Negeri, pada 23 Maret silam, ketua majelis hakim menanyakan kepada terdakwa mengenai keterangan dalam BAP pada 7 dan 14 Desember 2016 serta 24 Januari 2017 yang diparaf oleh politisi asal Jawa Barat tersebut.
Saat itu Miryam membenarkan bahwa keterangan dalam BAP yang diparafnya itu berasal darinya. Namun sejurus kemudian dia mencabut keseluruhan BAP dengan alasan isinya tidak benar. Dia mengaku ditekan dan diancam oleh tiga orang penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap dirinya.
Pada sidang 30 Maret 2017, penuntut umum mengkonfrontir Miryam dengan tiga penyidik yang dituding melakukan tekanan terhadap dirinya yakni Novel Baswedan, M. I. Susanto, dan A. Damanik. Keterangan ketiganya bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh Miryam Haryani.
“Demikian juga keterangan terdakwa membantah penerimaan uang dari Sugiharto juga bertentangan dengan keterangan Sugiharto, yang menerangkan telah memberikan sejumlah uang kepada terdakwa,” papar penuntut umum.
Saat itu Sugiharto mengatakan dia memberikan sejumlah uang langsung kepada Miryam yakni yang pertama sebesar Rp1 miliar, kedua US$500.000, ketiga US$100.000 dan terakhir Rp5 miliar sehingga total mencapai US$1,2 juta.