Kabar24.com, BANDUNG - DPD Real Estate Indonesia (REI) Jawa Barat mengaku pesimistis target pembangunan rumah untuk Masyarakat Berpenghasil Rendah (MBR) yang dipatok sebanyak 20.000 unit pada tahun ini bisa tercapai.
Rumitnya perizinan masih menjadi persoalan klasik yang dihadapi para developer.
Ketua DPD REI Jawa Barat Irpan Firmansyah mengatakan, hingga semester I-2017 dari 200 anggotanya yang tersebar di sejumlah daerah hanya mampu membangun 8.000 unit. Penyebabnya adalah belum sulitnya perizinan oleh seluruh pemerintah daerah di Jawa Barat.
"Ada beberapa lokasi izin yang belum keluar dan industri penurunan demand akibat UMR sehingga mereka menahan diri. Bahkan ada yang relokasi," katanya, kepada wartawan, Jumat (16/4/2017).
Irpan menjelaskan, tak kunjung keluarnya perizinan di kabupaten/kota disebabkan Peraturan Gubernurnya tak kunjung selesai yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanan Peraturan Pemerintah (PP) No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Berpenghasilan Rendah.
Dia mencontohkan, apabila pengembang melampirkan gambar denah dari arsitek yang dimilikinya selalu disalahkan. Praktik ini merupakan sebuah kejanggalan mengingat ilmu teknik sipil maupun arsitektur tidak banyak berbeda.
Baca Juga
"Terkesan pengembang harus menggunakan jasa oknum staf pemerintah untuk memuluskan gambar tersebut," ucapnya.
Sebenarnya PP tersebut bertujuan untuk menyederhanakan perizinan pembangunan perumahan MBR, tapi di lapangan tak berjalan mulus. Hal ini diperparah dengan pungutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di hampir seluruh daerah.
Padahal, pengusaha dikejar waktu dan bisnis yang dilakukan ikut membantu pemerintah dalam hal penyediaan perumahan terjangkau bagi rakyat. Kondisi serupa terjadi tahun sebelumnya yang hanya mampu membangun 16.000 unit.
"Di Bandung sendiri ada enam titik pembangunan yang notabene memang daerah pinggir hal ini karena keterbatasan lahan di kota dan harga yang tinggi," ucapnya.
Lebih lanjut Irpan menyampaikan, selama Ramadan penjualan rumah terbilang stagnan bahkan relatif meurun besar dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 50%. Penurunan ini dialami oleh semua segmen.
Hal ini diperburuk oleh kondisi penurunan daya beli konsumen untuk skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Goncangan pun dialami untuk rumah menengah ke atas dengan harga Rp1 miliar ke atas.
"Penyebabnya macam-macam. Tahun ini lebih berat untuk FLPP. Pasarnya buruh, tapi industri banyak yang pindah. Di Jabar juga kan banyak yang relokasi ke luar," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Apindo Jabar Deddy Widjaya mengungakapkan, saat ini ada 97.569 pekerja dari 89 perusahaan garmen dari empat kabupaten/kota di Jawa Barat terancam mengalami PHK. Keempat daerah itu antara lain Purwakarta, Kab Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi.
"Bahkan ada perusahaan dari empat daerah ini yang sudah tutup. Ini jelas kontraproduktif dengan harapan pemerintah yang ingin meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Pemilik perusahaan tersebut lebih memilih merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah yang dikenal memiliki nilai upah lebih rendah dari Jawa Barat. Bahkan, beberapa perusahaan sudah melakukan instalasi pabrik di daerah tujuan.