Bisnis.com, JAKARTA -- Tim kuasa hukum Koalisi 18+ mewakili tiga orang perempuan korban perkawinan anak mengajukan permohonan pengujian pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Tim Kuasa Hukum Koalisi 18+ Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan para korban mengajukan permohonan tersebut karena mereka menganggap negara lalai memberikan perlindungan kepada perempuan dari praktik perkawinan anak.
Ketiga perempuan tersebut merupakan warga Indramayu, Jawa Barat yang bernama Endang Warsubah, Maryanti, dan Rasminah yang dinikahkan oleh orang tuanya ketika masih berumur sekitar 14 tahun.
Hingga saat ini Indonesia masih membolehkan anak perempuan untuk menikah, bahkan keputusan Mahkamah Konstitusi 30-74/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 telah menguatkan praktik perkawinan anak.
"Situasi ini menimbulkan diskriminasi dan melanggengkan ketidaksetaraan kedudukan hukum bagi anak perempuan," ujarnya, Kamis (20/4/2017).
Sejauh ini, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi telah merespons dengan cepat kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara itu, DPR juga telah mengesahkan UU No. 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Namun, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pencegahan Perkawinan Anak atau Perppu Penghentian Perkawinan Anak yang telah diajukan oleh masyarakat sipil pada tahun lalu mangkrak di meja Kantor Staf Presiden dan Kementerian Agama.
"Hingga saat ini, satu dari lima anak di dunia harus menikah di usia belum dewasa. Kebanyakan dari mereka faktor utamanya adalah ekonomi," katanya.
Perempuan yang menikah pada usia anak akan terenggut kesempatannya untuk menuntaskan pendidikan 12 tahun sehingga memberikan beban yang lebih berat ketika mereka ditinggalkan oleh suami.