Kabar24.com, JAKARTA – Sepanjang tahun 2016, Pemerintah telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda) yang bermasalah.
Jumlah itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka pada 13 Juni 2016. Ketika itu, Presiden mengatakan, bahwa ribuan perda itu dianggap bermasalah dan menghambat kapasitas nasional, menghambat kecepatan untuk memenangkan kompetisi serta bertentangan dengan semangat kebhinnekaan dan persatuan.
Jokowi mengungkapkan ada empat kriteria perda yang dibatalkan, yakni perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.
Selanjutnya, perda yang menghambat proses perizinan dan investasi, ketiga perda yang menghambat kemudahan berusaha, dan keempat perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kini, tak sampai setahun sejak Presiden mengumumkan pembatalan ribuan perda itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang - undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda untuk sebagian, terkait pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh gubernur atau menteri.
Pertimbangan
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Adapun Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda memberi kewenangan kepada menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Dalam putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, mengabulkan permohonan sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa ‘pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat’.
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU 12/2011 tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Atas putusan itu, Robert Endy Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menganggap, putusan tersebut justru kontraproduktif dengan langkah pemerintah yang sedang getol melakukan deregulasi sejumlah perda bermasalah.
Sulit Dikontrol
Implikasinya, pemerintah daerah akan semakin sulit dikontrol, bahkan ke depannya bakal muncul banyak regulasi baru yang bertabrakan dengan keinginan pemerintah pusat menciptakan iklim investasi yang sehat.
“Akan semakin banyak peraturan yang muncul, bahkan bisa jadi akan membuat pungutan kepada pelaku usaha di daerah,” ungkapnya, Rabu (5/4/2017).
Menurutnya, MK dalam putusan tersebut hanya memikirkan aspek legalnya saja, tanpa melihat aspek efektifitas dan dinamika di daerah. Padahal, selama ini banyak regulasi yang dibuat pemda cenderung bermasalah dan menyulitkan pelaku usaha.
Robert mencontohkan, selama jalannya otonomi daerah kurang lebih 17 tahun, pemerintah pusat telah membatalkan sekitar 4.000-an peraturan daerah bermasalah.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan capaian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang selama berlangsungnya otonomi daerah hanya membatalkan kurang dari 100 perda.