Bisnis.com, JAKARTA- Masalah perlindungan anak di Indonesia kembali membetot perhatian pihak asing. Kali ini, isu yang disorot adalah kelayakan proteksi terhadap anak-anak di bawah umur yang menjadi terpidana.
Melalui Mahkamah Agung, Uni Eropa dan United Nations Development (UNDP) meresmikan proyek percontohan fasilitas pengadilan anak diPengadilan Negeri Cibinong. Proyek itu didanai oleh UE melalui program EU-UNDP-SUSTAIN.
Fasilitas pengadilan anak di PN Cibinong itu adalah bagian dari dana bantuan UE untuk menyokong reformasi peradilan di Indonesia. Selain di PN Cibinong, fasilitas tersebut juga didirikan di PN Sleman, PN Kupang, PN Manado, dan PN Stabat sejak tahun lalu.
Manajer Proyek EU-UNDP-SUSTAIN Gilles Blanchi menjelaskan fasilitas pengadilan anak yang disediakan adalah ruang telekonferensi untuk anak, dan ruang tunggu serta ruang sidang yang ramah anak.
Menurutnya, ruang sidang untuk anak harus dibedakan dari ruang sidang orang dewasa. Ruang sidang khusus anak memiliki dekorasi yang lebih ramah anak, serta dilengkapi dengan buku-buku bacaan.
“Harapannya agar aparatur pengadilan dapat menyelenggarakan persidangan yang berkaitan dengan anak dibawah umur secara lebih baik. Misalnya, via telekonferensi dimana korban dan pelaku berada di ruangan berbeda untuk mencegah ancaman psikologis terhadap anak.”
Bersamaan dengan proyek tersebut, UE dan UNDP melakukan sosialisasi pentingnya advokasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Sentul, Bogor pada 22—24 Maret. Sebelumnya, sosialisasi juga diadakan di Stabat, Sleman, Manado, dan Kupang.
KEADILAN RESTORATIF
Gilles berpendapat advokasi SPPA harus berpegang pada prinsip keadilan restoratif yang menitikberatkan pada partisipasi masyarakat di sekitar anak; mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan selama proses peradilan.
Keadilan restoratif ditujukan untuk memproteksi masa depan anak, dan memberi perlindungan utuh dengan menjunjung tinggi hak-hak anak seperti mendapat bantuan hukum, konseling/pendampingan, serta perlindungan dari tindakan kejam dan tidak manusiawi.
Agar advokasi berjalan dengan baik, dibutuhkan koordinasi antara MA, Kementerian PPA, Polri, KPAI, Pemda, dan ormas yang memiliki paradigma sama terkait prosedur investigasi, penuntunan, dan proses pengadilan yang sesuai dengan prinsip keadilan restoratif.
Gilles menambahkan pemberlakuan UU SPPA pada 2012 sebenarnya adalah langkah maju dalam sistem peradilan anak di Indonesia. Kemajuan itu diapresiasi oleh Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“EU-UNDP-SUSTAIN memastikan bahwa dukungan ini diberikan di pengadilan-pengadilan yang telah ditunjuk sebagai percontohan,” ujarnya.
Di Indonesia, beberapa masalah yang dijumpai sejak pemberlakuan UU SPPA a.l. lemahnya koordinasi antarinstitusi yang terlibat, perbedaan presepsi kebutuhan dan keberhasilan hukum restoratif, serta kurangnya kerja sama antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Menurut Gilles, permasalahan-permasalahan itu dapat membahayakan posisi anak yang sedang berhadapan dengan hukum (ABH). Oleh karena itu, koordinasi antarlembaga dan aparat penegak hukum adalah sebuah kebutuhan mutlak.
“Saat ini, para aparat penegak hukum dan pengadilan terbiasa mengikuti pedoman yang tertulis dalam hukum pidana untuk menyelesaikan perkara tindak kejahatan anak. Namun, sebenarnya ada alternatif untuk menyelesaikan perkara secara damai dengan mengikuti prinsip-prinsip keadilan restoratif.”
Selain itu, tantangan lainnya adalah perbedaan presepsi antara aparat penegak hukum terkait penanganan tindakan kriminal yang dilakukan anak dibawah umur. Akibatnya, timbullah penerapat regulasi yang tidak konsisten.
Koordinator Sektor Pengawasan EU-UNDP-SUSTAIN Fatahillah mengatakan saat ini koordinasi antara departemen dan sektor hukum di Indonesia masih belum optimal, sehingga pertukaran data dan informasi seringkali terhambat.
“Setelah peluncuran dan advokasi tentang SPPA dijalankan, kami akan terus melibatkan semua lembaga yang berkaitan dengan sistem peradilan anak untuk memperkuat koordinasi dan kerja sama,” jelasnya.
Dengan demikian, diharapkan hambatan-hambatan dapat teridentifikasi sehingga dapat diambil tindakan dan program yang tepat untuk menangani masalah peradilan anak di Indonesia.
“Sehingga ke depannya kami dapat mengembangkan program seperti pengadaan sistem pelatihan bersertifikasi yang terintegrasi, mengembangkan sistem e-registration untuk mengintegrasikan database kasus tindak kejahatan anak, dan mengadakan kunjungan berkala ke pengadilan percontohan lainnya untuk mengawasi implementasi serta memberikan pengarahan teknis.”