Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan siap bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin paling cepat pekan depan.
Dikutip melalui Reuters, hal ini diungkapkan seorang pejabat Gedung Putih pada Kamis (7/8/2025), di tengah meningkatnya tekanan Washington terhadap Moskow agar menghentikan perang di Ukraina, termasuk ancaman sanksi sekunder terhadap negara-negara mitra Rusia seperti China dan India.
Pertemuan ini akan menjadi yang pertama antara presiden AS dan Rusia sejak Joe Biden bertemu Putin di Jenewa pada Juni 2021 atau delapan bulan sebelum invasi Rusia ke Ukraina dimulai.
Laporan The New York Times menyebutkan bahwa Trump telah memberi tahu para pemimpin Eropa bahwa doa berniat bertemu Putin dan kemudian mengupayakan pertemuan trilateral yang juga melibatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
“Ada kemungkinan besar pertemuan itu akan segera berlangsung,” ujar Trump kepada wartawan.
Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt, menegaskan bahwa Rusia telah menyatakan minat untuk bertemu dengan Trump, dan presiden terbuka untuk bertemu baik dengan Putin maupun Zelenskiy.
Baca Juga
Langkah ini menyusul pertemuan antara utusan khusus AS, Steve Witkoff, dengan Putin di Moskow pada Rabu. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut pertemuan itu sebagai “kemajuan besar”, meskipun dia juga menyatakan bahwa hasilnya belum bisa disebut terobosan.
Penasihat kebijakan luar negeri Kremlin, Yuri Ushakov, menyebut pembicaraan tersebut berguna dan konstruktif.
Dia juga menyebut kedua pihak telah bertukar sinyal terkait isu Ukraina dan menjajaki kemungkinan kerja sama strategis ke depan, meski rincian lebih lanjut akan menunggu laporan resmi Witkoff kepada Trump.
Pertemuan diplomatik ini terjadi dua hari sebelum batas waktu yang ditetapkan Trump agar Rusia menyepakati perdamaian di Ukraina atau menghadapi sanksi baru. Trump menyatakan kekecewaannya atas lambannya kemajuan menuju gencatan senjata, dan mengancam tarif tinggi bagi negara yang membeli ekspor Rusia termasuk minyak.
Trump telah menjatuhkan tarif tambahan 25% terhadap sejumlah barang dari India, menanggapi impor minyak Rusia oleh negara tersebut. Kementerian Luar Negeri India menyebut langkah itu sangat disayangkan. Trump juga menyebut China sebagai target potensial berikutnya.
"Kami telah melakukannya pada India. Mungkin akan dilakukan pada satu atau dua negara lainnya. Salah satunya bisa jadi China," kata Trump.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent telah memperingatkan pejabat China bahwa pembelian minyak Rusia secara terus-menerus dapat memicu tarif besar berdasarkan undang-undang baru di Kongres.
Sumber Bloomberg dan media independen Rusia The Bell melaporkan bahwa Kremlin tengah mempertimbangkan usulan moratorium serangan udara antara Rusia dan Ukraina. Ide yang awalnya disampaikan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko. Meski belum mencapai gencatan senjata total, langkah ini dipandang sebagai jeda potensial dalam kekerasan.
Namun, sejak perundingan damai kembali dimulai pada Mei lalu, Rusia justru melancarkan serangan udara terberat selama perang. Sedikitnya 72 warga sipil tewas di Kyiv bulan lalu akibat serangan tersebut. Trump sendiri mengecam aksi itu menjijikkan.
Zelenskiy dalam pidato malamnya mengatakan bahwa tekanan internasional mulai berdampak, dan Rusia tampak lebih condong kepada opsi gencatan senjata.
“Tekanan terhadap mereka berhasil. Tapi yang penting adalah mereka tidak menipu kami dalam detailnya baik kami maupun AS,” ujar Zelenskiy.
Meski tekanan meningkat, sumber Kremlin mengatakan kepada Reuters bahwa Putin tidak mungkin tunduk pada ultimatum sanksi dari Trump. Dia masih yakin bahwa Rusia unggul dalam medan perang dan lebih mementingkan tujuan militernya ketimbang membangun kembali hubungan dengan AS.