Bisnis.com, PALEMBANG -- Progres proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api atau KEK TAA dinilai lambat karena tak kunjung masuk dalam tahap konstruksi dan masih berkutat pada persoalan lahan.
Bahkan dari 13 proyek infrastruktur nasional yang berada di Sumsel, KEK TAA menjadi satu dari 4 proyek yang masuk dalam kategori merah karena progress yang lamban tersebut.
Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengatakan agar memenuhi PP No 51 tahun 2014, maka pembebasan lahan ditarget harus selesai Juni 2017 ini.
"Kami sudah mulai progresnya, maka untuk tenggat waktu prosesnya diperpanjang hingga tahun depan. Kami sudah bicarakan ini dengan Dewan Nasional KEK," jelasnya saat rapat koordinasi proyek infrastruktur nasional, Sabtu (18/3) malam.
Kendala KEK TAA -pembebasan lahan tak sesuai target dari 217 ha baru selesai 66,1 ha -Kawasan Tanjung Carat belum masuk bagian KEK TAA - Rekomendasi revisi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait rencana zonasi wilayah pesisir Sumber: Pemprov Sumsel 2017 |
Menurut dia, pembebasan lahan yang dilakukan sejak 2014 itu belum bisa membuat pemprov lega.
Pasalnya, pada tahap awal direncanakan ada 217 hektare lahan, namun pada 2016 baru selesai pembebasan lahan seluas 66,1 ha dengan anggaran sekitar Rp38 miliar.
Untuk pembebasan lahan tahap pertama di KEK TAA, kata dia, PT Sriwijaya Tanjung Carat akan bersifat sebagai investor yang membantu dalam pembebasan lahan.
"Kami akan upayakan pembebasan lahan sekitar 150 ha agar tuntas tahap pertama tidak menggunakan anggaran pemda. Melainkan dengan menggandeng PT Sriwijaya Tanjung Carat dengan alokasi sekitar Rp153 miliar," jelasnya.
Project Management Unit KEK TAA Regina Ariyanti mengatakan, kendala lain yang dihadapi proyek tersebut menyangkut progres kawasan Tanjung Carat belum terintegrasi dengan KEK TAA.
"Kami akan usulkan ditahun ini kepada Dewan Nasional KEK agar Tanjung Carat dimasukkan ke dalam kawasan KEK TAA," ujarnya.
Diketahui, Kawasan Tanjung Carat yang berdekatan dengan KEK TAA merupakan lokasi utama untuk pembangunan pelabuhan laut dalam.
Dia menjelaskan, detail engineering design (DED) dan feasibility studi (FS) pelabuhan Tanjung Carat sudah selesai 2016 lalu.
Pelindo II sendiri meminta ada penugasan melalui perpres tentang pengelolaan pelabuhan Tanjung Carat. Rekomendasi reklamasi Tanjung Carat masih dilakukan revisi karena ada perubahan kewenangan.
Sebelumnya, wilayah hingga 4 mil dari batas darat ke laut merupakan kewenangan bupati. Namun berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, hingga batas 12 mil dari batas darat menuju laut merupakan kewenangan gubernur.
"Inilah yang diminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk direvisi. Kami sudah mengajukan revisi untuk rekomendasi reklamasi ke KKP," ujarnya.
Tapi upaya reklamasi Tanjung Carat terbentur dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP). Saat ini, untuk RZWP sedang dalam proses, masih menunggu evaluasi Kemendagri.
Regina menambahkan, sebetulnya sudah banyak investor yang berdatangan untuk melihat KEK TAA.
Bahkan, kata dia, pemprov mendapatkan penawaran dari Golden Concord Limited, konsorsium perusahaan terbesar kedua di Tiongkok, untuk mengelola KEK TAA dan Tanjung Carat.
"GCL ini akan berinvestasi dalam jumlah besar untuk pelabuhan Tanjung Carat. Namun saat ini masih dalam proses penjajakan," ungkapnya.
Selain GCL, kata Regina, sudah ada sejumlah tenant yang juga dalam proses menginvestasikan di KEK TAA dan pelabuhan Tanjung Carat. Diantaranya, PT GMA, Kogas, PT Sriwijaya Tanjung Carat, PT Indocoal International, Indorama, PGRC, PT Dex Indonesia, PT Pelindo II dan Pusri.