Bisnis.com, JAKARTA - Chris Kanter, Dewan Pembina di Yayasan Swiss German University Asia (YSGUA) dan juga salah satu pemegang saham di PT Swiss German Uni (SGU) mengakui, tanah dan bangunan stage I sudah diterima sejak Januari 2010 dan digunakan untuk kampus Swiss German University. Namun, sejak tanah dan bangunan milik PT BSD Tbk dipinjampakai, pihak SGU, belum pernah membayar cicilan atas pembelian tanah dan bangunan.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan gugatan pembatalan pengikatan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah dan bangunan yang dilakukan antara PT Bumi Serpong Damai (BSD) Tbk. terhadap PT Swiss German Uni (SGU), Rabu (9/11/2016). Sidang Majelis Hakim dipimpin Wahyu Widya dengan Tuty Haryadi dan Yuferry F Rangke sebagai anggota.
Dalam sidang kasus pembatalan pembelian lahan dan bangunan milik BSD, pihak tergugat (PT SGU) menghadirkan Chris Kanter sebagai saksi. Pada awal persidangan, kuasa hukum PT BSD menyatakan keberatan dengan dihadirkannya saksi.
Alasannya, saksi merupakan suami dari pihak tergugat, Prikanti Kanter yang menjabat Presdir di PT SGU.
Menurut kuasa hukum PT BSD, larangan menghadirkan saksi yang memiliki hubungan keluarga dengan pihak tergugat tercantum dalam pasal 145 HIR. Dalam pasal 145 ayat 2 HIR ditegaskan, yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah, istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian. Meski kuasa hukum PT BSD keberatan, tetapi hakim memutuskan tetap mendengarkan keterangan saksi dengan catatan dan di bawah sumpah.
Dalam sidang, saksi Chris Kanter --salah satu pemegang saham di PT SGU ini-- mengakui tanah dan bangunan stage I sudah diterima sejak Januari 2010 dan digunakan untuk kampus SGU. Namun, sejak tanah dan bangunan milik PT BSD dipinjampakai, pihak PT SGU belum pernah membayar cicilan atas pembelian tanah dan bangunan.
Menjawab pertanyaan hakim, saksi mengaku pernah menerima surat tagihan dari PT BSD terkait pembayaran atas tanah dan bangunan, tetapi selalu diterima terlambat karena surat dikirim ke alamat sementara. Saksi juga mengetahui ada perjanjian pembayaran secara periodik yang diatur dalam PPJB. Namun, menurutnya, pembayaran baru akan dilakukan setelah bangunan stage 2 diserahkan oleh PT BSD.
Ketika hakim menanyakan aturan mana yang menyebut pembayaran baru dilakukan setelah stage 2 diserahkan, saksi tidak dapat menunjukkan pasal atau aturan dalam PPJB. Hakim juga mempertanyakan, kalau pembayaran dilakukan setelah stage 2 diserahkan, mengapa dalam PPJB ada jadwal atau tahapan pembayaran?
Pada bagian lain, saksi juga mengatakan telah menyetorkan dana Rp70 miliar ke rekening BCA atas nama Yayasan SGUA milik saksi dan keluarganya, bukan ke rekening PT SGU maupun PT BSD. Uang yang tersebut, menurut saksi, akan digunakan untuk cicilan pembayaran tanah dan gedung kampus SGU.
Dalam sidang sebelumnya, saksi ahli mantan Hakim Agung Yahya Harahap mengatakan, pihak tergugat berhak membatalkan PPJB karena adanya wanprestasi dari pembeli yaitu tidak pernah membayar cicilan sesuai jadwal yang tertulis dalam PPJB. Itu artinya, penggugat (PT BSD) bisa mengambil kembali lahan yang digunakan sebagai kampus SGU.
‘’Jika ada pengikatan jual beli antara pemilik dan pembeli, maka si pembeli harus melunasinya dulu sebelum diterbitkan akta jual beli (AJB) sebagai syarat pembuatan sertifikat.
Kalau belum lunas, sampai kapan pun lahan itu tetap menjadi hak pemilik,’’ kata Yahya, Rabu (26/10/2016).
PT BSD menggugat pembatalan PPJB terhadap PT SGU atas tanah dan gedung yang dijadikan sebagai kampus SGU. Pihak PT BSD menuding SGU melanggar kesepakatan dan tidak pernah membayar cicilan tanah dan gedung yang digunakan sejak 2010 lalu kepada PT BSD. Mediasi telah dilakukan berkali-kali tapi gagal. Akhirnya, PT BSD melayangkan gugatan pembatalan PPJB ke Pengadilan Tangerang.