Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gerakan Reformasi Indonesia dan Hungaria Sepakat Waspadai Ekstrimis Kanan

Sejumlah pegiat gerakan reformasi Indonesia 1998 dan revolusi Hungaria 1956 di Jakarta pada Senin (7/11/2016) memperingatkan bahaya kebangkitan gerakan ekstrim kanan di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun belakangan.
Ilustrasi./Bisnis
Ilustrasi./Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA -  Sejumlah pegiat gerakan reformasi Indonesia 1998 dan revolusi Hungaria 1956 di Jakarta pada Senin memperingatkan bahaya kebangkitan gerakan ekstrim kanan di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun belakangan.

"Kita harus mewaspadai kelompok ekstrim, yang menggunakan kebebasan pers dan sudah terjadi berulangkali di negara ini," kata Budiman Sudjatmiko, pegiat reformasi 1998, yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

"Beberapa kelompok memanfaatkan demokrasi, yang kami perjuangkan, untuk memaksakan agenda, yang sama sekali tidak demokratis," kata Jozcef Micski, mantan pegiat revolusi di Hungaria pada 1956.

Budiman merujuk pada rasa anti-keturunan Tionghoa dalam gerakan besar 4 November di Jakarta. Selain itu, dia juga menyebut beberapa kekerasan dengan sentimen agama di Cikesik, Madura, dan Poso dalam 20 tahun belakangan.

Di Hungaria, kata Micski, meski tidak menyebut secara langsung, merujuk pada kebijakan anti-imigran keras dari Perdana Menteri Viktor Orban, yang juga berulangkali menyatakan sentimen negatif terhadap Muslim dan pengungsi, yang lari dari perang saudara di Suriah.

Tidak hanya di Indonesia dan Hungaria, gelombang gerakan kanan juga muncul di berbagai negara lain, seperti, di Inggris dalam referendum pengeluaran negara tersebut dari Uni Eropa, serta di Amerika Serikat dalam pencalonan tokoh anti-imigran dan anti-Muslim, Donald Trump.

Budiman dan Micski mengungkapkan hal tersebut dalam acara diskusi peringatan 60 tahun revolusi 1956 di Hungaria, yang menghadirkan pegiat demokrasi dari Indonesia dan Hungaria untuk berbagi pengalaman. Pada tahun tersebut, mahasiswa Hungaria menggelar unjuk rasa untuk menggulingkan pemerintahan boneka Uni Soviet.

Meski berlangsung singkat, mengingat pada tahun sama, Uni Soviet langsung melakukan campur tangan dan terus berkuasa hingga negara tersebut bubar pada 1991, revolusi di Hungaria memakan korban lebih dari 2.500 orang.

"Saya tidak menyesal bergabung dalam gelombang revolusi meski sejak itu, saya harus mengungsi ke Swedia. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa kebebasan di Hungaria tetap harus dipertahankan," kata Micski.

Sementara itu, Budiman mengatakan bahwa perulangan kekerasan dengan sentimen agama dan ras di Indonesia hanya bisa dihentikan jika negara mengakui melakukan kesalahan dengan membiarkan pembantaian anasir komunisme pada 1965 dan kerusuhan anti-Tionghoa pada 1998.

"Kita bisa saja memaafkan aktor kekerasan pada masa lalu, tapi kita tidak boleh melupakan, karena itu pelajaran sejarah," kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper